Pekerja mengemas kopi rempah di rumah produksi Pakesang, Ternate, Maluku Utara, Rabu (18/9/2024). Produksi kopi rempah yang diolah dengan bahan dasar kopi robusta dan rempah-rempah tersebut menjadi oleh-oleh khas Ternate telah dipasarkan ke berbagai daerah seperti Ambon, Jailolo, Morotai dan dijual melalui marketplace hingga ke Jakarta dengan harga jual mulai dari Rp40 ribu hingga Rp80 ribu per kemasan. ANTARA FOTO/Andri Saputra/Spt.Â
JAKARTA, DDTCNews - Tahun ini, 2024, merupakan periode terakhir berlakunya pajak penghasilan (PPh) final 0,5% bagi pelaku UMKM orang pribadi yang telah menggunakan skema tersebut sejak 2018. PP 55/2022 mengatur skema PPh final UMKM dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi selama maksimal 7 tahun pajak.
Bagi wajib pajak UMKM yang sudah tidak bisa lagi menggunakan PPh final 0,5%, masih ada 2 opsi penghitungan pajak terutang yang bisa dimanfaatkan. Pertama, memilih melakukan pembukuan. Kedua, menggunakan skema norma penghitungan penghasilan neto (NPPN).
“Bagi wajib pajak yang sudah menggunakan tarif PPh final sejak 2018, mulai 2025 dapat memilih untuk menggunakan pembukuan atau menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN),” ujar DJP melalui media sosial, dikutip pada Rabu (9/10/2024).
Apabila wajib pajak UMKM memilih menyelenggarakan pembukuan, pajak yang dibayar akan berdasarkan laba yang diperoleh. Wajib pajak yang memilih menyelenggarakan pembukuan juga diingatkan untuk mulai membayar angsuran PPh Pasal 25 pada tahun depan.
"Dalam hal wajib pajak orang pribadi yang tidak lagi menggunakan PPh final UMKM memilih untuk menyelenggarakan pembukuan maka wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 mulai tahun pajak 2025," sebut Kementerian Keuangan dalam laporan APBN Kita.
Selanjutnya, bagi wajib pajak UMKM yang memilih menggunakan skema NPPN, sesuai dengan PMK 54/2021, perlu menyampaikan pemberitahuan kepada DJP paling lambat 3 bulan setelah tahun pajak berjalan. Jika pemberitahuan tidak disampaikan, wajib pajak UMKM orang pribadi harus melakukan pembukuan dan membayar pajak berdasarkan laba sebenarnya.
Adapun mekanisme dalam menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma NPPN tersebut secara teknis dapat dilakukan dengan menyelenggarakan pencatatan.
Melalui skema NPPN, penghitungan penghasilan neto dilakukan dengan cara mengalikan angka persentase NPPN dengan peredaran bruto dari kegiatan usaha dalam 1 tahun pajak. Setelah itu, besaran penghasilan neto yang diperoleh dapat dikurangi terlebih dahulu dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk memperoleh besaran penghasilan kena pajak (PKP).
Kemudian, besaran pajak penghasilan (PPh) terutang dapat dihitung dengan mengalikan PKP dengan tarif umum berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh s.t.d.t.d UU HPP (tarif umum).
Seperti diketahui, sesuai dengan PMK 23/2018 yang kemudian diperbarui dengan PMK 55/2022, penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dapat dikenai tarif PPh final UMKM sebesar 0,5%, selama omzet dalam tahun tersebut belum melebihi Rp4,8 miliar. Beleid yang sama juga mengatur bahwa bagi wajib pajak UMKM orang pribadi, pengenaan PPh final paling lama 7 tahun pajak. (Syallom Aprinta Cahya Prasdani/sap)