Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Pengenaan pajak terhadap ekonomi digital masih menjadi bahasan media nasional pada pagi hari ini, Senin (20/1/2020). Terlebih, pemerintah menjanjikan akan memasukkan klausul pemajakan transaksi digital tersebut pada rancangan omnibus law perpajakan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan otoritas terus memantau perkembangan upaya pencapaian konsensus global di bawah koordinasi OECD. Selain itu negosiasi antara Prancis dan Amerika Serikat (AS) juga terus dilihat.
“Pertemuan antara dua negara diharapkan bisa menghasilkan titik temu sehingga mengarah pada kesepakatan internasional melalui OECD nanti,” ujar Hestu.
Seperti diketahui, Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) untuk melakukan investigasi terhadap pajak digital yang dikenakan Prancis. USTR menyimpulkan pajak digital prancis diskriminatif. AS pun mengancam akan mengenakan bea tambahan hingga 100% atas produk tertentu dari Prancis.
Dalam perkembangan terbaru, pemerintah Prancis dan Amerika Serikat (AS) sepakat untuk mencoba menyelesaikan perselisihan. Kesepakatan diharapkan terjadi di sela-sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos-Swiss pada 21—24 Januari 2020.
Selain itu, beberapa media juga masih menyoroti pengesahan multilateral instrument on tax treaty (MLI) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2019. Dari 47 P3B yang sepakat diubah dalam MLI, 19 diantaranya mulai efektif berlaku tahun ini. Perubahan dari P3B Indonesia dengan 19 negara tersebut akan mulai berlaku efektif 3 bulan setelah ratifikasi MLI disampaikan kepada OECD.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dalam rencana omnibus law perpajakan, pemerintah membuat klausul terkait dengan pemungutan dan penyetoran PPN atas impor barang kena pajak (BKP) tidak berwujud dan jasa kena pajak (JKP). Pemerintah juga dapat menunjuk platform luar negeri untuk memungut dan menyetor PPN.
Sementara, terkait dengan PPh, pemerintah hanya menyebut akan meredefinisi bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak hanya berdasarkan pada kehadiran fisik tapi juga kehadiran secara ekonomi (significant economic presence).
Klausul significant economic presence terpenuhi ketika pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, atau penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) luar negeri memiliki omzet usaha, penjualan, dan/atau pengguna aktif pada media digital yang mencapai jumlah tertentu. (Bisnis Indonesia)
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji berujar konsensus global layak ditunggu karena dengan adanya nexus baru membuat hak pemajakan suatu negara tidak hanya terbatas pada kehadiran fisik. Alokasi laba juga akan lebih mencerminkan peran negara pasar dalam pembentukan nilai.
“Persoalannya, belum tentu seluruh negara anggota BEPS Inclusive Framework setuju atas hal tersebut. Pesimisme itulah juga yang menjadi alasan berbagai negara untuk secara sepihak menerapkan aturan domestik dalam memungut PPh atas transaksi digital,” ujar Bawono, akhir pekan lalu.
Dalam konteks saat ini, menurutnya, tidak ada salahnya bagi Indonesia menentukan pengenaan PPN dan PPh atas transaksi digital. Pemerintah juga bisa memasukkan klausul yang memungkinkan adanya pencabutan ketentuan dalam omnibus law perpajakan apabila bertentangan dengan konsensus global (jika tercapai). (Bisnis Indonesia)
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2019 ada 47 persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) yang masuk dalam Covered Tax Agreement (CTA). Direktur Perpajakan Internasional DJP John Hutagaol mengatakan Indonesia akan mengajukan 23 P3B baru pada tahap kedua.
“Tahap kedua akan ada 23 P3B baru yang akan diajukan oleh Indonesia. Subtansi pembahasannya akan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing yurisdiksi,” kata John. (Kontan)
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan setidaknya ada sejumlah keuntungan yang langsung didapat saat merevisi P3B dengan MLI. Hal ini dikarenakan MLI yang diajukan Indonesia sudah mencakup empat rencana aksi BEPS OECD/G20.
Keempat rencana aksi tersebut adalah pertama, aksi ke-2 tentang hybrid mismatch arrangement. Ini sebagai upaya untuk menangkal perencanaan pajak agresif karena perbedaan aturan pajak domestik antarnegara selama ini.
Kedua, aksi ke-6 tentang penyalahgunaan tax treaty. Hal ini dinilai cukup valid karena alat uji yang digunakan untuk mencegah penyalagunaan ini dengan mengadopsi principle purpose test (PPT). Ketiga, aksi ke-7 tentang penghindaran status bentuk usaha tetap (BUT). Hal ini juga bisa terkait dengan pemajakan ekonomi digital. Keempat, aksi ke-14 tentang penyelesaian sengketa pajak lewat mekanisme Mutual Agreement Procedure (MAP). (Kontan)
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak dari sektor transportasi dan pergudangan pada 2019 tercatat mengalami pertumbuhan 18,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak (DJP) Yon Arsal mengatakan pergerakan penerimaan sektor tersebut ada pengaruh dari pesatnya perkembangan e-commerce.
Menurutnya, data tersebut harus dianalisis lebih detail untuk menjadi bahan pertimbangan dalam meracik kebijakan. Pasalnya, dominasi barang dagang atau impor dalam gudang justru memuncul efek negatif pada industri dalam negeri yang perlu diantisipasi. (DDTCNews) (kaw)