Sesmenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso.
JAKARTA, DDTCNews—Pemerintah mewaspadai potensi neraca perdagangan Indonesia ke AS berbalik menjadi defisit dari selama ini tercatat surplus usai negara adidaya itu mencabut status Indonesia sebagai negara berkembang.
Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengaku khawatir status Indonesia yang tidak lagi menyandang status negara berkembang membuat Indonesia keluar juga dari daftar penerima fasilitas insentif (generalized system of preference/GSP) AS.
“Begitu kita keluar dari negara berkembang, ada konsekuensinya dari masalah fasilitas perdagangan. Ya pastilah (berpotensi defisit), tapi pasti sudah ada langkah-langkah untuk menyelesaikan itu,” katanya di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Susiwijono menambahkan Kementerian Perdagangan saat ini tengah mengkaji dampak dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang oleh Kantor Perwakilan Perdagangan AS, pekan lalu.
Saat ini, Indonesia menikmati fasilitas GSP yang membebaskan bea masuk untuk 124 produk ke AS. Produk unggulan Indonesia yang dipasarkan ke AS di antaranya seperti furnitur dan tekstil.
Tren neraca perdagangan Indonesia-AS pun mencatat surplus setiap tahunnya. Pada 2019, ekspor Indonesia ke AS mencapai US$17,7 juta. Sementara impor Indonesia dari AS tercatat US$9,2 juta. Alhasil, Indonesia surplus US$8,4 juta.
Saat ini, pemerintah juga tengah mengusahakan negosiasi agar AS tidak mencabut fasilitas GSP. Pemerintah Indonesia sempat menargetkan negosiasi tersebut selesai akhir tahun lalu, tapi sampai sekarang belum rampung.
Selain itu, pemerintah berencana menggandakan nilai perdagangan yang hampir US$30 juta tahun lalu menjadi US$60 juta dalam lima tahun mendatang. Adapun kedua negara sudah menjalin kerja sama perdagangan selama 70 tahun. (rig)