Ilustrasi. (DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews—Sektor manufaktur masih menunjukkan tendensi kontraksi menyusul kinerja Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur per Mei 2020 yang berada di level 28,6 atau terendah sejak April 2011.
Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw mengatakan pelaku sektor manufaktur khawatir akan berlebihnya kapasitas sehingga menyebabkan adanya pengurangan karyawan, aktivitas pembelian, dan inventaris barang input.
"Produksi dan permintaan baru terus turun pada kisaran parah, memaksa perusahaan mengurangi lapangan kerja dan inventaris guna menangani biaya di tengah-tengah penutupan bisnis besar-besaran," ujarnya, dikutip Rabu (3/6/2020).
PMI Manufaktur adalah indikator ekonomi yang mencerminkan keyakinan para manajer bisnis di sektor manufaktur. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti industriawan sedang ekspansif.
Bernard meyakini kinerja PMI Manufaktur akan mulai pulih dalam bulan-bulan mendatang seiring dengan dibukanya kegiatan ekonomi oleh pemerintah secara bertahap melalui new normal pada Juni ini. Â
Meski begitu, lanjutnya, perlu upaya yang besar untuk memulihkan kerugian yang dialami sektor manufaktur dalam beberapa bulan terakhir ini. Adapun kinerja PMI Manufaktur per April tercatat di level 27,5.
Untuk diketahui, sektor manufaktur memiliki proporsi terbesar terhadap PDB Indonesia. Pada kuartal I/2020, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB mencapai 19,98%. Disusul sektor perdagangan dan pertanian masing-masing sebesar 13,2% dan 12,84%.
Sektor manufaktur juga menjadi salah satu penyumbang terbesar terhadap penerimaan pajak. Per April 2020, kontribusi sektor manufaktur terhadap penerimaan pajak mencapai 29,5% atau senilai Rp108,36 triliun.
Namun demikian, Kementerian Keuangan melalui APBN Kita edisi Mei 2020 menyebutkan bahwa penerimaan pajak dari sektor manufaktur memiliki potensi melambat seiring dengan turunnya skor PMI Manufaktur atau berada di bawah ambang batas 50. (rig)