Petani memanen jagung miliknya di Desa Bone-Bone, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (4/8/2020). Dengan terbitnya PMK No.89/2020 pengusaha kena pajak (PKP) petani tidak lagi dipusingkan dengan mekanisme penghitungan pajak masukan (PM) dan pajak keluaran (PK) dalam menentukan besaran PPN yang disetor. (ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww)
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menyatakan faktor kesederhanaan menjadi pokok inti dari PMK No.89/2020 yang ditawarkan kepada petani atau kelompok tani untuk menunaikan kewajiban perpajakannya, khususnya berkaitan dengan pajak pertambahan nilai (PPN).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan dengan PMK No.89/2020 pengusaha kena pajak (PKP) petani tidak lagi dipusingkan dengan mekanisme penghitungan pajak masukan (PM) dan pajak keluaran (PK) dalam menentukan besaran PPN yang disetor.
"Jadi dengan DPP Nilai Lain sebesar 10% dari harga jual, maka tidak ada pajak masukan yang dapat dikreditkan," katanya di Jakarta, Rabu (5/8/2020).
Hestu menambahkan beleid PPN 1% atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu juga dipungut oleh industri yang menerima penyerahan barang dari PKP petani.
Dengan demikian, sambungnya, beban administrasi sepenuhnya ditanggung oleh lawan transaksi dari PKP yang menggunakan skema PPN sebagaimana diatur dalam PMK No.89/2020.
Menurutnya, kewajiban dari PKP yang menghasilkan barang pertanian tertentu adalah menyampaikan pemberitahuan kepada kantor pajak terdaftar untuk memanfaatkan skema DPP dengan nilai lain.
Selanjutnya dalam melakukan transaksi PKP yang menggunakan skema nilai lain sebagai DPP cukup menerbitkan faktur pajak atau dokumen yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak saat penyerahan barang atau jasa kena pajak.
Adapun pemberitahuan tersebut paling lambat disampaikan saat penyampaian SPT masa PPN pertama dalam tahun pajak dimulainya penggunaan DPP nilai lain.
Seperti diketahui, lewat PMK 89/2020, otoritas memperkenalkan skema tarif efektif PPN sebesar 1%. Tarif efektif itu muncul karena DPP dari penyerahan barang hasil pertanian tertentu ini menggunakan nilai lain yakni 10% dari harga jual
Langkah ini merupakan respons pemerintah atas dicabutnya fasilitas pembebasan PPN pada sektor pertanian sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31/2007. PP ini dicabut berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) No. 70/P/HUM/2013.
Sejak saat itu penyerahan barang hasil pertanian yang awalnya bebas PPN menjadi terutang PPN. Otoritas fiskal menyebutkan hal ini membuat petani kesulitan memenuhi kewajiban perpajakannya. PMK ini diharap bisa menyelesaikan masalah tersebut. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.