WEBINAR SERIES DDTC

Menjawab Tantangan Memajaki UMKM, Ini Masukan Para Akademisi

Nora Galuh Candra Asmarani
Selasa, 11 Agustus 2020 | 12.01 WIB
Menjawab Tantangan Memajaki UMKM, Ini Masukan Para Akademisi

Dosen Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie Leonard Pangaribuan dan Amelia Sandra saat memberikan paparan dalam webinar series DDTC bertajuk 'Tantangan Implementasi Pajak UMKM' yang digelar Selasa, (11/8/2020).

JAKARTA, DDTCNews—Implementasi pajak UMKM masih menghadapi banyak tantangan meski regulasi yang mendasarinya terus berkembang. Dimensi tantangan tersebut melingkupi pengetahuan, kesadaran pajak, hingga jumlah pelaku UMKM yang besar dan bervariasi.

Demikian benang merah yang dapat ditarik dari sesi pemaparan materi para pembicara dalam webinar series DDTC bertajuk ‘Tantangan Implementasi Pajak UMKM’ yang digelar pada Selasa (11/8/2020).

Dosen Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie Leonard Pangaribuan menjabarkan definisi UMKM di Indonesia beragam. Namun, dalam konteks perpajakan penyebutan pajak untuk UMKM baru mulai dikenal setelah dirilisnya PP No.46/2013.

“Awalnya dalam UU PPh subjek pajak UMKM tidak disebutkan secara eksplisit. Namun, dalam perkembangannya UU No.10/1994 hingga UU No.36/2008 mulai menyebutkan orang pribadi usahawan. Selanjutnya, istilah UMKM dikenal dalam PP No.46/2013 yang kini diubah dengan PP No.23/2018,” jelas Leonard, Selasa (11/8/2020)

Sementara itu, Dosen Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie Amelia Sandra menyatakan berdasarkan hasil pengabdian masyarakat yang dilakukan Kwik Kian Gie banyak kendala yang dihadapi wajib pajak UMKM.

Secara garis besar kendala tersebut berkaitan dengan kesadaran pajak dari pelaku UMKM, pengetahuan akan perpajakan dan pencatatan/pembukuan, termasuk tidak update dengan ketentuan terbaru.

Tak hanya itu, UMKM dianggap sulit mengalokasikan waktu untuk menghadiri sosialisasi terkait kewajiban pajak, serta masih adanya rasa takut dan persepsi masyarakat atas penggunaan dana yang terhimpun dari pajak.

Amelia menyebut terdapat empat tantangan yang dihadapi DJP. Pertama, masih ada UMKM yang belum membayar pajak baik berdasarkan tarif pajak final yang ada dalam PP 23/2018 maupun tarif umum dalam Pasal 17 ayat (1) UU PPh.

Kedua, latar belakang UMKM yang bervariasi dan membuat kemampuan serta kesadaran pajak berbeda. Ketiga, jumlah UMKM sangat besar dan mengindikasikan potensi penambahan wajib pajak dan penerimaan pajak yang tinggi. Keempat, menciptakan sistem pemajakan yang user friendly bagi UMKM.

Amelia pun mengusulkan enam solusi berdasarkan tantangan yang ada pada lapangan. Pertama, Ditjen Pajak (DJP) harus melakukan penelitian baik secara visit (kunjungan) maupun dengan melakukan tindakan pemeriksaan.

Kedua, sosialisasi dan edukasi. Ketiga, meningkatkan pendekatan ke asosiasi-usaha UMKM atau ke komunitas-komunitas kecil. Keempat, mendekatkan diri dengan lembaga non laba atau lembaga swadaya masyarakat yang membina UMKM.

Kelima, menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi melalui Tax Center atau lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (LPPM) bagi perguruan tinggi yang belum memiliki Tax Center.

Keenam, membuat sistem pencatatan/pembukuan yang user friendly atau memudahkan wajib pajak dalam melaporkan pajaknya.

“Kita harus melihat permasalahan per jenis usaha bila ingin mendapatkan lebih banyak lagi partisipasi dari pelaku UMKM karena masing-masing usaha memiliki kriteria dan cara bisnis yang berbeda dan menghadapi masalah yang berbeda,” tutur Amelia.

Pada kesempatan yang sama, Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji menuturkan permasalahan implementasi pajak UMKM harus diusut dari pangkal yang menyebabkan kendala tersebut terjadi.

“Jika berbicara implementasi pajak UMKM terdapat masalah serius yang terkait dengan kepatuhan pajak, partisipasi wajib pajak, dan shadow economy,” tutur Bawono.

Bawono menambahkan dalam rangka meningkatkan kepatuhan pada sektor yang sulit dipajaki pemerintah mengambil metode kebijakan yang sering dikenal sebagai presumptive tax. Dia menyebut tujuan dari penerapan presumptive tax adalah untuk menyederhanakan dan menggaet pelaku UMKM.

“Tujuan presumptive tax lebih kepada penyederhanaan dan kemudahan dan ini tercermin dalam rezim pajak UMKM di Indonesia yang kita tahu saat ini diatur dalam PP No.23/2018,” jelasnya.

Webinar ini merupakan seri kesembilan dari 14 webinar yang diselenggarakan untuk menyambut HUT ke-13 DDTC yang jatuh pada 20 Agustus. Webinar ini diselenggarakan bersama 15 perguruan tinggi dari 26 perguruan tinggi yang telah menandatangani kerja sama pendidikan dengan DDTC.

Bagi Anda yang tertarik untuk mengikuti webinar seri selanjutnya, informasi dan pendaftaran bisa dilihat dalam artikel ‘Sambut HUT ke-13, DDTC Gelar Free Webinar Series 14 Hari! Tertarik?'.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Estu Kresnha
baru saja
UMKM memiliki peranan penting dalam menggerakkan roda ekonomi kembali pasca Covid-19. Mengingat implementasi pajak UMKM yang masih diterpa tantangan, pelaksanaan solusi yang akurat dan cepat akan sangat membantu pengimplementasian pajak UMKM terutama implementasi insentif pajak Covid-19. Semoga Pemerintah dapat menelurkan kebijakan yang paling sesuai dengan keadaan UMKM di lapangan.