WEBINAR SERIES DDTC

Polemik PPh Transaksi Digital Lintas Yurisdiksi, Ini Kata Akademisi

Nora Galuh Candra Asmarani
Selasa, 18 Agustus 2020 | 13.04 WIB
Polemik PPh Transaksi Digital Lintas Yurisdiksi, Ini Kata Akademisi

Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Ning Rahayu saat memberikan paparan dalam webinar series DDTC bertajuk ‘Polemik atas PPh Transaksi Digital Lintas Yurisdiksi’ yang digelar Selasa (18/8/2020).

JAKARTA, DDTCNews—Indonesia memiliki potensi pajak digital yang fantastis. Tak tanggung-tanggung penghasilan dari ekonomi digital di Indonesia diproyeksikan mencapai USD$40 miliar pada 2019 dan USD$133 miliar pada 2025.

Potensi tersebut disampaikan Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Ning Rahayu dalam webinar series DDTC bertajuk ‘Polemik atas PPh Transaksi Digital Lintas Yurisdiksi’ yang digelar Selasa (18/8/2020).  

“Potensi pajak digital Indonesia sangat fantastis. Namun, belum dapat dikenakan pajak penghasilan karena terdapat kendala dalam ketentuan tax treaty antara Indonesia dan negara treaty partner,” tutur Ning, Selasa (18/8/2020)

Dalam aturan tax treaty Indonesia, negara sumber baru dapat memajaki keuntungan dari perusahaan yang merupakan residen negara treaty partner jika terdapat Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment (PE).

Hal ini menjadi polemik lantaran aturan terkait dengan BUT mempersyaratkan kehadiran fisik, padahal hampir 100% multinational company (MNC) digital yang ada di Indonesia melakukan bisnisnya tanpa adanya kehadiran fisik.

Meski begitu, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menerbitkan dua regulasi untuk memajaki pelaku transaksi digital luar negeri, yaitu melalui Surat Edaran Ditjen Pajak No.  SE-04/PJ.10/2017 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 35/PMK.03/2019.

Pemerintah bahkan sudah mengatur pajak penghasilan dan pajak transaksi elektronik serta konsep kehadiran ekonomi signifikan (significant economic presence/SEP) melalui Undang-Undang No. 2/2020. Simak kamus ‘Apa Itu Kehadiran Ekonomi Signifikan’.

Namun demikian, menurut Ning, konsep SEP dapat diterapkan jika telah dilakukan renegosiasi atas tax treaty melalui instrument bilateral dengan negara treaty partner dengan mengganti syarat kehadiran fisik dalam penentuan BUT di negara sumber dengan SEP.

Sementara itu, dalam cakupan global, sudah ada tiga solusi untuk memajaki pelaku bisnis elektronik luar negeri. Pertama, penerapan ‘kehadiran ekonomi signifikan’ untuk menetapkan adanya BUT terhadap MNC berbasis digital.

Kedua, pengembangan Multilateral Instrument (MLI) dalam rangka memodifikasi tax treaty secara serentak. Ketiga, OECD/G20 Inclusive Framework (IF) yang berupaya untuk mencapai konsensus global pemajakan penghasilan sektor ekonomi digital.

Seperti halnya konsep SEP dalam UU 2/2020, SEP dalam konteks global tersebut juga dapat diterapkan jika sudah ada perjanjian multilateral sebagaimana yang dirumuskan oleh OECD. Adapun konsensus global yang tengah dirumuskan OECD ini diharapkan tercapai pada akhir tahun 2020.

Di Luar Pajak Penghasilan
Lebih lanjut, Ning menekankan pengenaan pajak transaksi elektronik terhadap pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri dan /atau PPMSE luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat dilakukan jika pajak transaksi elektronik tersebut merupakan jenis pajak lain di luar PPh.

“Pajak transaksi elektronik merupakan tindakan sepihak. Namun, langkah ini bisa diterapkan sepanjang pajak ini tidak termasuk dalam pajak penghasilan, karena itu merupakan hak negara sumber untuk menentukan sendiri jenis pajak lain,” tuturnya.

Sementara itu, Managing Partner DDTC Darussalam menuturkan pajak digital menjadi salah satu potensi sumber penerimaan baru yang tengah disasar oleh berbagai negara di tengah pandemi seperti saat ini.

Pasalnya, pandemi ini memberikan dua konsekuensi yang relevan untuk memajaki sektor ekonomi digital. Pertama, penghasilan maupun laba dari para raksasa digital mengalami kenaikan signifikan karena banyaknya pembatasan berbasis fisik di dunia nyata.

Kedua, belanja pemerintah di berbagai negara dilakukan secara besar-besaran untuk menyelamatkan ekonomi dari depresi ekonomi akibat pandemi mendorong pelebaran defisit anggaran yang semakin signifikan.

Dalam konteks PPh atas perusahaan digital yang beroperasi lintas yurisdiksi, kendalanya terletak pada dua kesulitan yaitu sistem pajak internasional masih menganut penentuan BUT berdasarkan adanya kehadiran secara fisik.

Kemudian, belum adanya rumusan mengenai alokasi penghasilan per negara yang dianggap merepresentasikan prinsip pembentukan nilai (value creation) perusahaan digital.

Menanggapi permasalahan ini, OECD pada tahun lalu sebenarnya sudah mengajukan proposal yang terdiri dari dua pilar utama yang notabene akan merombak arsitektur pajak internasional.

Namun, tarik ulur kepentingan antarnegara dan pandemi covid-19, mengancam agenda finalisasi konsensus global atas PPh digital yang direncanakan selesai akhir 2020. Terlebih, saat ini AS menolak untuk melanjutkan pembahasan.

Di sisi lain, Indonesia dalam Pasal 6 Perppu No 1/2020 sebagaimana telah diundangkan melalui UU No. 2 Tahun 2020 telah mengubah prinsip hak pemajakan PPh dari yang berbasis kehadiran fisik menjadi kehadiran ekonomi yang signifikan.

Namun, lanjut Darussalam, perubahan definisi secara sepihak ini bisa berbenturan dengan tax treaty. Untuk itu, Indonesia membuat klausul yang bersifat solutif yaitu pengenaan pajak transaksi digital yang mengadopsi mengadopsi konsep DST.

Webinar ini merupakan seri ke-12 dari 14 webinar yang diselenggarakan untuk menyambut HUT ke-13 DDTC yang jatuh pada 20 Agustus. Webinar ini diselenggarakan bersama 15 perguruan tinggi dari 26 perguruan tinggi yang telah menandatangani kerja sama pendidikan dengan DDTC.

Bagi Anda yang tertarik untuk mengikuti webinar seri selanjutnya, informasi dan pendaftaran bisa dilihat dalam artikel ‘Sambut HUT ke-13, DDTC Gelar Free Webinar Series 14 Hari! Tertarik?'. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Estu Kresnha
baru saja
Melihat keadaan perekonomian nasional saat ini memang menjadi kewajaran jika pemerintah mulai lebih aktif salam membuat regulasi guna menjaring basis pajak digital. Basis pajak digital sebenarnya dapat menguntungkan setiap negara selama tidak ada perlombaan antar negara, contoh berupa regulasi domestik yang bersifat unilateral, yang malah dapat merugikan negara-negara tersebut. Semoga konsensus global pajak digital dapat segera tercapai sehingga basis pajak digital dapat dimanfaatkan secara adil dan optimal.