FOKUS AKHIR TAHUN

Masih Perlukah Insentif Tahun Depan?

Ringkang Gumiwang
Selasa, 22 Desember 2020 | 10.20 WIB
Masih Perlukah Insentif Tahun Depan?

Ilustrasi. (DDTCNews)

“PEREKONOMIAN di berbagai negara mengalami kontraksi, bahkan resesi. Tak ada yang kebal dari pandemi, termasuk negara kita Indonesia,” kata Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinetnya beberapa waktu lalu.

Apa yang dikatakan Presiden itu benar belaka, Hampir seluruh negara mengalami tekanan hebat. Tak sedikit negara yang jatuh ke jurang resesi. Indonesia, yang setiap tahun mencatatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5%, juga berakhir dengan resesi.

Secara umum, resesi adalah periode penurunan ekonomi sementara yang ditandai dengan menurunnya produk domestik bruto (PDB) dalam dua kuartal berturut-turut. Definisi ini menjadi standar umum resesi selama bertahun-tahun.

Terdapat beberapa indikator yang menunjukkan tanda resesi. Misalnya, banyak orang yang kehilangan pekerjaan, perusahaan menghasilkan lebih sedikit penjualan, hingga pengeluaran (output) ekonomi negara secara keseluruhan turun.

Merujuk kinerja ekonomi Indonesia, pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II/2020 tercatat -5,32%. Kinerja ekonomi yang minus ini berlanjut pada kuartal III/2020 menjadi -3,49%. Sepanjang tahun berjalan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat -2,3%.

Tanda-tanda resesi seperti bertambahnya angka pengangguran juga terjadi di Indonesia. Hingga Agustus 2020, jumlah angka pengangguran terbuka mencapai 9,77 juta orang atau bertambah 2,67 juta orang dari periode yang sama tahun lalu.

Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam memulihkan ekonomi sehingga periode resesi dapat segera terlewati. Ratusan triliun pun dialokasikan pemerintah untuk memuluskan upaya memulihkan ekonomi.

Tahun ini, pemerintah setidaknya mengalokasikan dana Rp695,2 triliun untuk menangani masalah kesehatan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional. Dari jumlah tersebut, sekitar 17% atau Rp120,6 triliun berupa insentif pajak. 

Sesuai Kebutuhan
ORGANISATION for Economic Cooperation and Development (OECD) pernah menyatakan ancaman resesi menjadi pertimbangan pemerintah di banyak negara untuk menerbitkan berbagai kebijakan relaksasi pajak.

Berdasarkan studi komparasi yang dilakukan DDTC Fiscal Research per Agustus 2020, lebih dari 120 negara di dunia menggunakan instrumen pajak untuk mengantisipasi dampak Covid-19. Setiap negara setidaknya merilis 8 instrumen pajak yang bersifat merelaksasi.

Mayoritas instrumen pajak tersebut bertujuan menjaga likuiditas perusahaan (57%). Disusul, dukungan bagi sektor kesehatan (11%) serta untuk menjaga arus kas dan daya beli rumah tangga (10%). Insentif dari pemerintah lebih ke arah menjaga likuiditas perusahaan.

Insentif pajak yang diluncurkan pemerintah untuk menjaga likuiditas perusahaan tersebut antara lain pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) badan, diskon angsuran PPh Pasal 25, pembebasan PPh Pasal 22 Impor hingga PPh final usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ditanggung pemerintah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah menggunakan APBN sebagai instrumen untuk membantu dunia usaha. Untuk itu, pemerintah selalu terbuka menerima masukan dari dunia usaha mengenai stimulus yang paling dibutuhkan.

"Dunia usaha kami berikan insentif perpajakan dan modal kerja untuk usaha. Ini perlu disempurnakan dan kami akan melakukan komunikasi koordinasi dengan pelaku ekonomi maupun keuangan sehingga bisa memulihkan ekonomi," katanya.

Bukan tanpa alasan, Menteri Keuangan berupaya menyempurnakan stimulus dunia usaha, terutama dari aspek perpajakan. Hal ini dikarenakan insentif pajak yang disiapkan tidak terlalu banyak diserap dunia usaha.

Hingga 25 November 2020, realisasi insentif pajak dunia usaha yang sudah terserap baru 39% dari pagu Rp120,6 triliun. Meski begitu, Sri Mulyani mencatat jumlah wajib pajak badan yang memakai insentif pajak sudah mencapai ratusan ribu perusahaan.

Realisasi insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah misalnya, sudah mencapai Rp2,99 triliun atau 31% dari pagu. Menurut catatan Kementerian Keuangan, sebanyak 131.000 perusahaan telah menerima insentif tersebut.

Sebanyak 14.600 wajib pajak badan menerima pembebasan PPh Pasal 22 impor dengan total nilai Rp11,05 triliun atau 83% dari pagu. Lalu, sebanyak 66.300 wajib pajak menerima insentif diskon PPh Pasal 25 dengan total nilai Rp17,18 triliun atau 80% dari pagu.

Untuk insentif restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat, realisasinya Rp4,32 triliun atau 57% dari pagu Rp7,55 triliun. Insentif ini dimanfaatkan 2.200 wajib pajak. Adapun realisasi insentif penurunan tarif PPh badan tercatat Rp10,87 triliun atau 58% dari pagu.

Insentif pajak tersebut pun membuahkan hasil. Menurut survei yang dilakukan pemerintah, mayoritas wajib pajak puas terhadap kebijakan tersebut. Sebanyak 70% dari 12.800 wajib pajak badan merasa insentif pajak telah membantu menahan kontraksi usahanya.

Survei tersebut juga menunjukkan insentif pajak cukup efektif membuat penurunan jumlah karyawan dan penjualan lebih moderat dibandingkan dengan pelaku usaha yang tidak memanfaatkan insentif pajak tersebut.

Insentif pajak juga turut berkontribusi terhadap membaiknya pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2020 dari kuartal II/2020, termasuk menahan lonjakan angka pengangguran yang lebih besar karena pandemi Covid-19. Lantas, bagaimana tahun depan?

Lebih Kecil
PEMERINTAH sebenarnya berkomitmen melanjutkan pemberian insentif bagi dunia usaha. Namun, anggaran yang dialokasikan tahun depan lebih kecil, yaitu hanya Rp20,4 triliun. Jenis pajak yang akan direlaksasi juga hingga saat ini belum diputuskan.

"Ekonomi akan masuk masa pemulihan. Cuma kami masih dalam tahapan menguji, mengevaluasi, kira-kira insentif seperti apa yang akan sangat dibutuhkan, dan oleh sektor apa," ujar Yon Arsal, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak.

Keputusan memberikan insentif pajak tidaklah mudah. Sebab, insentif pajak memiliki konsekuensi menggerus penerimaan pajak. Untuk itu, insentif perlu didesain efektif mengejar target yang ingin dicapai sehingga ongkos yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan.

Atas dasar alasan itulah, desain relaksasi pajak tahun depan atau pada fase pemulihan seharusnya berbeda ketimbang tahun ini yang fokus menjaga kelangsungan usaha. Misal, relaksasi terhadap jenis pajak berbasis konsumsi seperti PPN atau PPnBM.

Research Coordinator DDTC Denny Vissaro menilai relaksasi terhadap jenis pajak berbasis konsumsi dapat menjadi salah satu opsi bagi pemerintah dalam menjaga permintaan dan memastikan produksi pelaku usaha dapat diserap masyarakat.

"Saat masuk fase initial recovery, maka butuh dukungan untuk meningkatkan konsumsi dan mobilitas masyarakat. Saat ini Indonesia belum masuk fase itu, tapi saya berharap fase ini bisa mulai terjadi pada 2021 ketika vaksin sudah dipergunakan secara luas," tuturnya.

Pada tahap selanjutnya, kebijakan insentif dapat bergeser dari relaksasi pajak atas konsumsi menjadi insentif dalam meningkatkan investasi dan inovasi. Relaksasi untuk investasi dan inovasi ini bertujuan menjaga stabilitas ekonomi nasional dalam jangka panjang setelah pandemi.

Di lain pihak, asosiasi pelaku usaha seperti Kadin Indonesia dan Apindo mendukung kelanjutan insentif pajak tahun depan. Kadin berharap relaksasi pajak benar-benar dapat diberikan kepada pelaku usaha yang terdampak pandemi, terutama UMKM.

Sementara itu, Apindo meminta diskon PPh Pasal 25 sebesar 50% kembali dilanjutkan tahun depan. Menurut Apindo, pengurangan angsuran adalah insentif yang paling bisa dirasakan dampaknya untuk membantu arus kas perusahaan.

Belanja Perpajakan
UPAYA pemerintah menggerakkan ekonomi melalui insentif pajak sebenarnya patut diapresiasi. Dalam teori ekonomi, kebijakan fiskal yang sifatnya ekspansif seperti insentif pajak ini merupakan kunci untuk membenahi ekonomi.

Meski begitu, terdapat sejumlah catatan yang harus diperhatikan pemerintah di antaranya mengenai penyusunan pelaporan belanja perpajakan (tax expenditure). Pelaporan belanja perpajakan ini penting guna melihat sejauh mana efektivitas dari kebijakan tersebut.

Apalagi, belanja perpajakan yang dikucurkan pemerintah dalam menangani dampak pandemi Covid-19 melonjak drastis ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Tentu, setiap rupiah dari belanja pemerintah harus dapat memberikan dampak yang berarti.

Pada 2016, belanja perpajakan pemerintah diperkirakan mencapai Rp144 triliun. Tahun berikutnya meningkat menjadi Rp155 triliun dan kemudian Rp221 triliun. Pada 2019, belanja perpajakan sudah mencapai Rp257 triliun.

Untuk diketahui, belanja perpajakan adalah bentuk pengeluaran pemerintah dengan memberikan ‘subsidi’ melalui sistem perpajakan. Belanja perpajakan kerap kali dianggap sebagai penggerus basis penerimaan pajak dengan efektivitas yang masih diperdebatkan.

Pemerintah sendiri sudah mulai menyusun pelaporan belanja perpajakan sejak 2018. Meski begitu, pelaporan belanja perpajakan yang disusun masihlah belum sempurna. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi.

Beberapa rekomendasi tersebut antara lain belum adanya landasan hukum dalam pelaporan belanja perpajakan di Indonesia. Di negara lain seperti Australia dan Peru, mereka sudah memiliki landasan hukum dalam belanja perpajakan tersebut.

BPK juga merekomendasikan pemerintah menetapkan target dan batas atas belanja perpajakan dalam dokumen APBN. Tidak adanya target dan batas atas mengakibatkan kinerja belanja perpajakan tidak bisa dinilai secara kuantitatif layaknya seperti program pemerintah lainnya.

Secara umum, BPK menilai pemerintah juga masih belum memiliki upaya untuk mengendalikan belanja perpajakan agar lebih tepat sasaran. Selain itu, belum ada evaluasi yang menilai efisiensi dan efektivitas dari masing-masing belanja perpajakan.

Tak dimungkiri, insentif pajak dalam pemulihan ekonomi sangat diperlukan. Meski begitu, pemberian insentif haruslah dirancang secara cermat dan tepat sasaran. Tidak ketinggalan, penyusunan belanja perpajakan juga diharapkan bisa lebih baik sehingga setiap rupiah yang dikeluarkan dapat berarti. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Daffa Abyan
baru saja
Ditengah dampak negatif terhadap kondisi ekonomi Indonesia, dalam hal ini pemerintah harus mengorbankan penerimaan pajak dengan memberikan insentif untuk mendorong pemulihan perekonomian negara yang hingga saat ini menjadi prioritas utama