LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN 2019

Dampak Tax Allowance Belum Signifikan, Ini Penjelasan BKF

Muhamad Wildan
Senin, 04 Januari 2021 | 10.48 WIB
Dampak Tax Allowance Belum Signifikan, Ini Penjelasan BKF

Ilustrasi. Pesepeda melintas di depan tulisan Pajak Kuat Indonesia Maju di Jakarta Pusat, Sabtu (19/12/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawanrwa.

JAKARTA, DDTCNews – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menilai pemberian insentif pajak berupa tax allowance kepada wajib pajak ternyata tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja perusahaan.

Dalam Laporan Belanja Perpajakan 2019, ada 5 indikator yang digunakan untuk mengestimasikan dampak tax allowance terhadap kinerja perusahaan yakni marjin laba, nilai ekspor, nilai impor, jumlah tenaga kerja tetap, dan jumlah tenaga kerja lokal.

"Fasilitas tax allowance tidak terbukti dapat memberikan efek yang diharapkan, baik pada peningkatan ekspor, penyerapan tenaga kerja (baik tetap maupun tidak tetap), kenaikan penggunaan komponen dalam negeri (impor lebih rendah), maupun peningkatan margin laba kotor perusahaan," tulis BKF dalam laporannya, dikutip Senin (4/1/2021).

Tax allowance adalah fasilitas PPh yang diberikan oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam PP No. 78/2019. Pada PP tersebut, pemerintah memberikan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal selama 6 tahun.

Selain pengurangan penghasilan neto, terdapat juga fasilitas penyusutan dan amortisasi dipercepat, pengenaan PPh atas dividen kepada wajib pajak luar negeri sebesar 10% atau lebih rendah sesuai P3B, dan fasilitas kompensasi kerugian lebih dari 5 tahun.

BKF mencatat penentuan sektor-sektor yang berhak mendapatkan tax allowance relatif sesuai dengan tujuan kebijakan insentif pajak tersebut, yakni meningkatkan penanaman modal pada bidang tertentu atau di daerah tertentu.

Dari 10 sektor dengan angka pengganda output tertinggi, 8 sektor di antaranya telah menerima fasilitas tax allowance. Namun, 26 dari 65 sektor penerima tax allowance memiliki angka pengganda output di bawah rata-rata, yakni di bawah 2,0.

Selanjutnya, BKF mencatat hanya 6 dari 10 sektor dengan angka pengganda nilai tambah tertinggi yang mendapatkan fasilitas tax allowance. Dari sisi rumah tangga, hanya 3 dari 10 sektor pengganda pendapatan rumah tangga tertinggi yang tercatat menerima tax allowance.

Dengan demikian, BKF menilai masih ada celah perbaikan dalam penetapan sektor penerima tax allowance berdasarkan analisis pada angka pengganda nilai tambah dan pengganda pendapatan rumah tangga.

"Pemberian insentif serta bauran kebijakan yang tepat diharapkan dapat mentransformasi potensi pendapatan negara yang hilang menjadi nilai tambah yang optimal bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat," sebut BKF.

Untuk diketahui, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebelumnya sudah pernah menyoroti fasilitas tax allowance yang diberikan Indonesia pada OECD Investment Policy Reviews: Indonesia 2020.

OECD menilai Indonesia perlu memperjelas tujuan apa yang hendak dicapai dari pemberian tax allowance pada PP No. 78/2020. Bila memungkinkan, OECD mendorong pemerintah merancang kebijakan insentif pajak yang lebih konsisten. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.