Ilustrasi. Kantor Pusat DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Terbitnya peraturan menteri keuangan yang baru terkait dengan pemungutan PPN penjualan pulsa dan kartu perdana menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (29/1/2021).
Salah satu pertimbangan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.6/PMK.03/2021 adalah untuk menyederhanakan administrasi dan mekanisme pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan pulsa oleh penyelenggara distribusi pulsa.
“Peraturan menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2021,” bunyi Pasal 21 PMK yang diundangkan pada 22 Januari 2021 ini.
Dalam Pasal 2 PMK tersebut ditegaskan atas penyerahan barang kena pajak (BKP), berupa pulsa dan kartu perdana, oleh pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyelenggara distribusi dikenai PPN. Pulsa dan kartu perdana dapat berbentuk voucer fisik atau elektronik.
Selain mengenai terbitnya PMK 6/2021, ada pula bahasan tentang terbitnya PMK 4/2021 yang menjadi landasan hukum untuk tata cara pembayaran bea meterai, ciri umum dan ciri khusus meterai tempel dan meterai dalam bentuk lain. Ditjen Pajak (DJP) juga telah merilis meterai tempel baru.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Sesuai dengan ketentuan dalam PMK 6/2021, PPN atas penyerahan pulsa dan kartu perdana yang dikenakan oleh pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyelenggara distribusi tingkat pertama terutang pada saat pembayaran diterima, termasuk saat penerimaan deposit.
Kemudian, PPN atas penyerahan pulsa dan kartu perdana oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua atau tingkat selanjutnya terutang saat pembayaran diterima, termasuk saat penerimaan deposit oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua. Simak ‘Ini Ketentuan Pemungut serta Saat Terutang PPN Pulsa dan Kartu Perdana’. (DDTCNews)
Melalui PMK 4/2021, pemerintah menegaskan kembali dokumen yang terutang bea meterai dikenakan bea meterai dengan tarif tetap senilai Rp10.000. PMK ini juga mengatur penentuan keabsahan meterai dan pemeteraian kemudian.
Beleid tersebut mengatur meterai terbagi dalam dua jenis, yakni berupa meterai tempel dan meterai dalam bentuk lain. Untuk meterai dalam bentuk lain, otoritas membaginya dalam 3 kelompok meterai yakni meterai teraan, meterai komputerisasi, dan meterai percetakan. (DDTCNews)
DJP resmi memperkenalkan meterai tempel baru. DJP mengatakan meterai tempel baru ini sebagai pengganti meterai tempel lama edisi 2014. Meterai tempel baru tersebut sudah bisa diperoleh masyarakat di kantor pos seluruh Indonesia.
“Meterai tempel baru ini memiliki ciri umum dan ciri khusus yang perlu diketahui oleh masyarakat,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama. Lihat desainnya pada artikel ‘DJP Resmi Perkenalkan Meterai Tempel yang Baru, Lihat Cirinya di Sini’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan insentif perpajakan untuk dunia usaha masih akan diberikan pada tahun ini. Namun demikian, hingga saat ini, pemerintah masih akan melihat secara berkala mengenai perincian insentif pajak yang akan diberikan.
Dalam rencana awal pada APBN 2021, jenis insentif yang diberikan adalah pajak ditanggung pemerintah (DTP), pembebasan pajak penghasilan (PPh) 22 impor, dan restitusi PPN dipercepat. “Nanti akan kami laporkan kalau kami melakukan estimasi awal tergantung dari wajib pajaknya,” katanya. (Kontan/DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan ada potensi wajib pajak badan tidak mencatatkan laba dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2020 yang akan disampaikan tahun ini. Pasalnya, pandemi Covid-19 telah memberi tekanan pada aktivitas usaha.
“Memang ini tantangan di tahun ini. Risiko penerimaan pajak tahun lalu wajib pajak badan banyak tertekan. Di SPT Tahunan 2020 yang akan disampaikan hingga April nanti, akan banyak wajib pajak melaporkan tidak laba,” ujarnya. (Kontan/DDTCNews)
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan tahun ini memang masih menjadi periode yang berat bagi otoritas pajak. Menurutnya, strategi penerimaan pada tahun ini tidak bisa dilepaskan dari kerangka kebijakan fiskal yang ekspansif-konsolidatif secara berimbang.
“Hal ini mengingat masih terdapat risiko kendala dalam pemulihan ekonomi serta menjaga kesinambungan fiskal kita ke depan, terutama dengan melihat daya tahan anggaran pemerintah,” katanya.
Menurutnya, ada beberapa strategi yang bisa dijalankan. Pertama, mengurangi tax gap, terutama dalam melanjutkan perluasan basis pajak. Kedua, optimalisasi penerimaan pajak dari sektor-sektor yang sifatnya tidak mendistorsi ekonomi. Ketiga, mendesain insentif pajak yang selektif, tepat guna, dan temporer. Keempat, mendorong kepatuhan pajak melalui sistem administrasi berbasis teknologi. (Kontan) (kaw)