DIGITALISASI EKONOMI

Bersiap Menyambut Arsitektur Baru Pajak Internasional

Redaksi DDTCNews
Selasa, 03 Agustus 2021 | 09.30 WIB
Bersiap Menyambut Arsitektur Baru Pajak Internasional

Ilustrasi. 

HASIL Pemilu Amerika Serikat (AS) pada November 2020 telah mengubah arah diskusi penentuan kesepakatan perpajakan internasional terkait dengan ekonomi digital. Maklum, diskusi sempat berada di jalan buntu. Terpilihnya Joe Biden menggantikan Donald Trump, sesuai dengan diprediksi banyak pihak, membawa Negeri Paman Sam lebih kooperatif dalam meja perundingan.

Oktober 2020 seharusnya menjadi momentum bersejarah pencapaian konsensus global. Kenyataannya, target waktu disepakati mundur menjadi pertengahan 2021. Pada waktu itu, OECD/G-20 Inclusive Framework on BEPS (IF) hanya menerbitkan cetak biru (blueprint) proposal Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti-Base Erosion (GloBE).

Lebih kooperatifnya AS juga tidak terlepas dari agenda Joe Biden yang ingin mendorong penerapan pajak minimum global. Rencana itu juga sudah masuk dalam dokumen The Made in America Tax Plan bersamaan dengan kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 21% menjadi 28%. Narasi yang ditonjolkan ke publik lebih banyak terkait dengan penghentian perang tarif (race to the bottom).

“Tarif pajak minimum diperlukan agar perekonomian global dapat bertumbuh berdasarkan pada ketentuan pajak yang menjamin level playing field,” ujar Menteri Keuangan AS Janet Yellen.

Gayung bersambut. Pertemuan G-7 di London, Inggris pada awal Juni 2021 menghasilkan dukungan pencapaian konsensus global terhadap Pilar 1 dan Pilar 2. Khusus untuk Pilar 2, tarif pajak minimum global yang akan diusung sebesar 15%. Besaran tarif ini sesuai dengan usulan Negeri Paman Sam. Untuk Pilar 1, G-7 sepakat untuk memberikan hak pemajakan kepada yurisdiksi pasar.

Sekjen Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Mathias Cormann mengatakan konsensus para menteri keuangan G7 merupakan langkah penting menuju konsensus yang diperlukan untuk mereformasi sistem perpajakan internasional. Distorsi yang timbul akibat globalisasi dan digitalisasi ekonomi hanya dapat diselesaikan melalui konsensus multilateral.

Dukungan pencapaian konsensus tersebut diperkuat dengan kesepakatan yang diambil dalam pertemuan G-20 di Venesia, Italia pada Juli 2021. Sebanyak 132 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota IF, yang mewakili lebih dari 90% produk domestik bruto (PDB) global, menyepakati solusi melalui kedua pilar. Mereka sepakat perusahaan multinasional membayar pajak yang adil.

Elemen kerangka kerja yang tersisa, termasuk rencana implementasi, akan finalisasi pada Oktober 2021. Pengembangan model legislasi, panduan, serta perjanjian multilateral pada 2022 juga akan menjadi bagian dari finalisasi. Adapun implementasi dari kebijakan ditargetkan mulai berjalan pada 2023.

“Kami mencapai kesepakatan sangat penting. Banyak rekan mendefinisikannya sebagai kesepakatan bersejarah tentang arsitektur pajak internasional yang lebih stabil dan lebih adil. Kami mendukung komponen kunci dari dua pilar,” ujar Menteri Ekonomi dan Keuangan Italia Daniele Franco dalam konferensi pers mengenai hasil pertemuan G-20.

Menjadi bersejarah karena akan ada perubahan lanskap pajak internasional. Selain itu, diskusi mengenai solusi atas tantangan pajak dari ekonomi digital sudah digelar bertahun-tahun, setidaknya sejak 2013. Waktu itu, OECD mulai merumuskan rencana aksi untuk memerangi base erosion and profit shifting (BEPS). Rencana aksi nomor 1 BEPS terkait dengan tantangan pajak dari ekonomi digital.

Tidak Terbatas pada Perusahaan Digital

DALAM perkembangan diskusi yang intensif dilakukan, proposal OECD yang disepakati IF sudah diperluas. Kebijakan yang nantinya disepakati akan diberlakukan untuk seluruh sektor perusahaan multinasional. Pasalnya, pemajakan ekonomi digital sulit untuk diperlakukan terpisah mengingat digitalisasi bisa diadopi seluruh sektor.

Awalnya, ada anggota IF yang ingin memfokuskan Pilar Satu pada kelompok model bisnis digital. Ada pula anggota yang bersikeras dengan solusi dengan cakupan kegiatan yang lebih luas. Akibatnya, muncul kategori automated digital services (ADS) dan consumer facing businesses (CFB).

Namun, ketegori itu tidak muncul lagi dalam proposal terakhir di level G-7 dan G-20 tahun ini. Berada di bawah pemerintahan Biden, AS menyederhanakan perdebatan dengan menyatakan kebutuhannya adalah menangani pemenang globalisasi.

“Sehingga menghindari segmentasi lini bisnis. Pendekatan kuantitatif nondiskriminatif yang masih menangkap pemenang globalisasi, termasuk perusahaan digital, adalah resep untuk membuat semua orang setuju,” ujar Director of Center for Policy and Administration OECD Pascal Saint-Amans.

Ruang lingkup perusahaan multinasional dengan threshold omzet global lebih dari EUR20 miliar dan profitabilitas (laba sebelum pajak terhadap omzet) di atas 10%. Setelah 7 tahun, threshold akan diturunkan menjadi EUR10 miliar. Pengecualian diberikan untuk sektor jasa keuangan dan industri ekstraktif.

Menurut Pascal, pendekatan tersebut juga menyederhanakan administrasi. Selain itu, seluruh perusahaan multinasional yang masuk dalam ruang lingkup Pilar 1 akan mendapatkan kepastian pajak. Mereka juga bisa mempunyai mekanisme pencegahan sengketa.

Dalam Pilar 1: Unified Approach sebanyak 20%-30% kelebihan laba di atas 10% dari penghasilan (residual profit) perusahaan multinasional akan diberikan kepada yurisdiksi pasar dengan suatu formula alokasi. Kebijakan bersifat wajib untuk seluruh anggota.

Sementara Pilar 2: Global Anti-Base Erosion yang memuat skema pajak minimum global 15% bersifat common approach (tidak wajib). Namun, kebijakan tetap berlaku ketika negara lain yang berkaitan dengan bisnis perusahaan multinasional mengimplementasikannya. Simak Kamus ‘Apa Itu Pilar 1 dan Pilar 2 Proposal Pajak OECD?’.

Senior Tax Advisor OECD Andrew Auerbach menilai negara berkembang berpotensi diuntungkan dengan tercapainya konsensus tersebut. Dia beralasan penerimaan pajak dari ekonomi digital akan menjadi sumber penerimaan yang menjanjikan, terutama pada negara berkembang yang memiliki pasar besar.

OECD menyatakan kesepakatan atas kedua pilar akan berdampak pada penerimaan pajak. Di bawah pilar satu, estimasinya, hak pengenaan pajak atas laba lebih dari US$100 miliar akan dialokasikan kembali ke yurisdiksi pasar setiap tahun. Kemudian, tarif pajak minimum global 15% diproyeksi menghasilkan sekitar US$150 miliar penerimaan pajak baru secara global per tahun.

Respons dan Posisi Indonesia

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kesepakatan mengenai Pilar 1: Unified Approach nantinya akan memberikan kepastian pemajakan. Pasalnya, Indonesia sebagai negara dengan pasar besar bagi perusahaan multinasional, terutama sektor digital. Basis pajak, menurutnya, akan lebih jelas. Selain itu, sengketa bisa dikurangi.

Selama ini, sambungnya, pemerintah kesulitan memungut pajak dari perusahaan multinasional karena mengharuskan kehadiran fisik dalam konsep bentuk usaha tetap (BUT). Dengan kesepakatan tersebut, menurutnya, persoalan kehadiran fisik tidak akan menjadi masalah selama perusahaan tersebut beroperasi dan menyediakan layanan di Indonesia.

“Adanya konsensus ini memberikan juga dukungan terhadap langkah yang sudah kita lakukan dalam reformasi perpajakan,” ujar Sri Mulyani.

Terkait dengan Pilar 2 yang memuat skema pajak minimum global, Sri Mulyani mengatakan kesepakatan akan diarahkan untuk mengurangi kompetisi atau perang tarif. Selama ini, ada negara atau yurisdiksi yang menawarkan pajak sangat rendah, bahkan mencapai 0%. Meski terbatas, ruang pemberian insentif pajak masih tetap ada melalui penerapan skema carve-out.

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama mengatakan pemerintah berencana mengusulkan agar insentif pajak yang terlanjur diberikan tidak perlu dicabut. Saat ini, ada 4 instrumen insentif pajak di luar penanganan pandemi Covid-19. Insentif tersebut yakni tax holiday, tax allowance, supertax deduction, dan tarif pajak khusus 3% lebih rendah untuk perusahaan go public.

Kepala BKF Febrio Nathan Kacaribu kesepakatan Pilar 2 memang ditujukan untuk mengatasi isu BEPS. Pemerintah, sambung Febrio, cukup optimistis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha.

BKF juga memproyeksi di bawah Pilar 1, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia. Selain mengenai porsi dan hak pemajakan, Indonesia bersama negara-negara berkembang pada IF akan mendorong adanya penyederhanaan skema dalam Pilar 1.

Indonesia juga mendorong terciptanya kepastian hukum. Bila terdapat sengketa, Indonesia mengutamakan penyelesaian melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang ada saat ini, salah satunya melalui mutual agreement procedure (MAP). Simak pula ‘Soal Konsensus Pajak Digital, Ini yang Diserukan Indonesia’.

Sayangnya, hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah terkait dengan nasib pajak transaksi elektronik (PTE) jika hasil dari konsensus global baru diimplementasikan pada 2023. Dirjen Pajak Suryo Utomo hanya mengatakan Indonesia tidak melakukan aksi unilateral karena berpotensi menimbulkan pajak berganda dan dapat menghambat perdagangan internasional di masa depan.

Partner of Tax Research and Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan pajak digital merupakan tes atau ujian signifikan dalam tata kelola pajak global. Kebijakan multilateral menjadi solusi terbaik tapi selama ini juga terkendala faktor politik. Salah satunya mengenai kerelaan setiap negara untuk secara bersama-sama mengurangi kedaulatan fiskalnya.

Selain itu, ada beberapa aspek yang menyebabkan sengitnya perdebatan terkait dengan BEPS dan digitalisasi. Pertama, berlanjutnya kompetisi pajak, terutama untuk menarik investasi. Kedua, masih adanya peluang atau celah untuk tindakan BEPS. Ketiga, adanya tantangan bagi negara berkembang yang banyak mengandalkan PPh korporasi. Keempat, ekonomi politik dari hak perpajakan.

“Dukungan awal bagi Pilar 1 dan 2 adalah langkah awal yang baik. Namun, kita perlu mencermati sejauh mana implikasi dan keselarasannya dengan kepentingan Indonesia,” kata Bawono.

Pemerintah sendiri akan terus melaporkan perkembangan pembahasan dua proposal pemajakan ekonomi digital kepada DPR. Upaya untuk mencapai konsensus global terhadap Pilar 1 dan Pilar 2 akan terus dibarengi dengan penyesuaian di tingkat domestik. Apalagi, pada saat ini, pembahasan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) juga masih terus dilakukan dengan DPR. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.