DIGITALISASI EKONOMI

Pilar 1 Proposal Pajak OECD, Apa Untungnya bagi Indonesia?

Muhamad Wildan
Kamis, 05 Agustus 2021 | 18.00 WIB
Pilar 1 Proposal Pajak OECD, Apa Untungnya bagi Indonesia?

Analis Kebijakan Muda Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Melani Dewi Astuti memaparkan materi dalam sebuah webinar. 

JAKARTA, DDTCNews - Indonesia bakal mendapat hak pemajakan atas laba yang diperoleh korporasi multinasional bila Pilar 1: Unified Approach resmi diimplementasikan.

Analis Kebijakan Muda Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Melani Dewi Astuti mengatakan ketentuan Pilar 1 akan mencakup korporasi dengan global revenue senilai EUR20 miliar dan profitability laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto) di atas 10%.

Hak pemajakan atas korporasi multinasional nantinya akan direalokasikan kepada yurisdiksi pasar bila korporasi yang tercakup pada Pilar 1 memiliki penjualan minimal sebesar EUR1 juta pada yurisdiksi pasar tersebut. Simak ‘Apa Itu Pilar 1 dan Pilar 2 Proposal Pajak OECD?’.

"Kita bisa memajaki labanya meskipun tidak ada bentuk usaha tetap (BUT) bersifat fisik di Indonesia," ujar Melani, Kamis (5/8/2021).

Pengalokasian laba kepada yurisdiksi pasar tidak lagi menggunakan arm's length principle, tetapi formula pada Pilar 1. Laba yang dialokasikan dan berhak dipajaki yurisdiksi pasar adalah sebesar 20% hingga 30% dari residual profit korporasi multinasional.

Residual profit sendiri adalah setiap laba korporasi multinasional yang berada di atas laba global sebesar 10%. Sebagai contoh, bila laba global suatu korporasi multinasional sebesar 12%, maka residual profit yang berhak dipajaki oleh yurisdiksi pasar adalah sebesar 2%.

Berdasarkan pada penghitungan yang dilakukan oleh BKF bersama Ditjen Pajak (DJP), diperkirakan ada lebih dari 100 korporasi multinasional yang memiliki pendapatan global sebesar lebih dari EUR20 miliar dan keuntungan lebih dari 10% sebagaimana yang tercakup pada Pilar 1.

Namun demikian, sambungnya, terdapat korporasi multinasional yang memiliki penjualan signifikan di Indonesia tetapi tidak tercakup dalam Pilar 1 akibat tidak terpenuhinya threshold omzet global sebesar EUR20 miliar.

 "Yang punya mass besar di negara pasar belum tentu profit globalnya besar sehingga kita tetap tidak bisa memajaki juga," ujar Melani.

Oleh karena itu, hingga saat ini, masih terdapat pertanyaan mengenai besarnya manfaat yang diperoleh Indonesia dengan adanya Pilar 1 dan realokasi hak pemajakan kepada yurisdiksi pasar sebagaimana diatur pada proposal tersebut.

Bila negosiasi antarnegara Inclusive Framework tidak terhambat, konsensus atas Pilar 1 diharapkan tercapai pada Oktober 2021. Setelah itu, akan disiapkan multilateral instrument atas Amount A untuk ditandatangani anggota-anggota Inclusive Framework pada 2022 dan diberlakukan pada 2023.

Pembahasan mengenai proposal Pilar 1 dan Pilar 2 yang telah disepakati dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentra negara-negara G-20 dapat Anda baca juga dalam Fokus Selangkah Lagi Mencapai Konsensus Global Pajak Digital. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.