Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak (WP) perseroan terbatas (PT) beromzet minimal Rp50 miliar dengan laporan keuangan belum diaudit ternyata memiliki risiko kepatuhan yang tinggi. Sebaliknya, WP PT dengan laporan keuangan yang sudah diaudit akuntan publik memiliki risiko kepatuhan lebih rendah.
Karenanya, WP PT dengan laporan keuangan yang belum diaudit berpeluang lebih besar untuk diperiksa Ditjen Pajak (DJP). Isu ini menjadi salah satu topik terpopuler pekan ini, 6—10 September 2021.
Menilik catatan DJP atas tahun pajak 2019, WP PT dengan laporan keuangan yang belum diaudit memiliki kecenderungan ditetapkan sebagai wajib pajak berisiko tinggi. Penetapan ini dilakukan oleh compliance risk management (CRM) pemeriksaan dan pengawasan.
"Ada 65% wajib pajak risiko tinggi yang belum dilakukan audit. Boleh jadi mereka ini ada kesalahan di sana karena ketidakmengertian atau mungkin kesengajaan," ujar Direktur Data dan Informasi Perpajakan DJP Dasto Ledyanto.
Dari statistik pencatatan yang dihimpun DJP, wajib pajak PT yang laporan keuangannya tidak diaudit memiliki risiko kepatuhan 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wajib pajak PT yang laporan keuangannya sudah diaudit.
Berita lengkap mengenai topik ini, simak Berisiko Tinggi, WP PT yang Belum Diaudit Bisa Diperiksa DJP.
Selain topik di atas, isu mengenai penyisiran ulang oleh DJP terhadap wajib pajak penerima insentif juga menarik perhatian publik.
DJP mengungkapkan strategi mereka untuk mulai mengecek ulang penerima manfaat insentif pajak yang sudah diberikan. Langkah ini diambil menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pemberian insentif pajak tahun 2020 yang dinilai tidak sesuai ketentuan.
Pengecekan dan penagihan kembali akan dilakukan melalui unit vertikal DJP, termasuk setiap kantor pelayanan pajak (KPP).
"Jadi, kami betul-betul kembali melihat apakah wajib pajak eligible untuk memanfaatkan atau tidak. Kalau memang iya, ya mereka akan terus memanfaatkan. Kalau tidak, mereka harus membayar kembali sesuatu yang tidak seharusnya dimanfaatkan," ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap adanya kelemahan dalam pemberian insentif pajak. Artikel lengkapnya, simak Buntut Insentif Nyasar, Ditjen Pajak Mulai Sisir Ulang WP Penerima.
Selain 2 topik di atas, masih ada sejumlah topik menarik lainnya. Berikut 5 berita pajak terpopuler lain dalam sepekan terakhir:
1. Apa Untungnya Jadi PKP Meski Masih UMKM? Ini Kata DJP
Wajib pajak UMKM dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dan memungut PPN meski omzet usaha belum mencapai Rp4,8 miliar dalam setahun.
Kasubdit Penyuluhan Perpajakan DJP Inge Diana Rismawanti mengatakan ada beberapa keuntungan yang bisa dinikmati oleh pelaku usaha bila memilih menjadi PKP. Salah satunya, pelaku usaha bisa membuka peluang untuk bermitra dengan pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa.
"Terkadang lawan transaksi seperti BUMN dan kementerian maunya dia bekerja sama dengan PKP karena mereka harus membuat faktur. Kalau ingin menjadi rekanan pemerintah itu mereka biasanya mensyaratkan nomor pengukuhan PKP," ujar Inge.
Status sebagai PKP juga membuka pintu bagi UMKM untuk bertransaksi dan bekerja sama dengan usaha skala besar yang notabene telah dikukuhkan sebagai PKP.
2. PPh Final 10% Bunga Obligasi Tak Berlaku Jika Diterima Wajib Pajak Ini
Ketentuan pengenaan pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final dikecualikan untuk 2 kelompok penerima penghasilan bunga obligasi.
Pengecualian itu ditegaskan pemerintah dalam PP 91/2021. Dalam beleid ini, disebutkan penghasilan berupa bunga obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) dikenai PPh yang bersifat final.
"Tarif pajak penghasilan yang bersifat final … sebesar 10% dari dasar pengenaan pajak penghasilan," demikian bunyi penggalan Pasal 2 ayat (2) PP 91/2021.
Namun demikian, sesuai dengan Pasal 3, ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final itu tidak berlaku untuk 2 kelompok penerima bunga obligasi.
Pertama, wajib pajak dana pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan menteri keuangan atau telah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan serta memenuhi persyaratan Pasal 4 ayat (3) huruf h UU PPh dan peraturan pelaksanaannya.
Kedua, wajib pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. Adapun penghasilan bunga obligasi yang diterima wajib pajak ini dikenai PPh berdasarkan pada tarif umum UU PPh.
3. Lapor SPT Masa PPN Tidak Benar, Tersangka Diserahkan ke Kejari
Penyidik PNS (PPNS) Kantor Wilayah DJP Jakarta Utara menyerahkan seorang tersangka tindak pidana pajak berinisial HS ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara.
Tersangka HS diduga kuat telah sengaja menyampaikan SPT masa PPN yang tidak benar atau tidak lengkap atas masa pajak Januari hingga Desember 2015 sehingga menimbulkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.
"Perbuatan tersangka menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 146,06 miliar," tulis Kanwil DJP Jakarta Utara dalam keterangan resmi.
4. Pilih PPh Final UMKM atau Ketentuan Umum? Wajib Pajak Jangan Plinplan
Wajib pajak yang sudah melakukan pembukuan dan membayar pajak sesuai dengan ketentuan umum tak bisa membayar pajak dengan skema PPh final PP 23/2018.
Inge Diana Rismawanti mengatakan wajib pajak harus konsisten dalam melaporkan dan membayar kewajiban perpajakannya sehingga tak bisa serta merta berganti skema pembayaran.
"Jangan diubah-ubah, kalau rugi maunya bayar tarif normal begitu sedang keuntungan [maunya PPh final]. Tak boleh pindah-pindah," ujar Inge.
5. Awasi WP Penerima Insentif Pajak, Ini Imbauan DJP Soal Pengisian Data
KPP melakukan pengawasan terhadap wajib pajak penerima insentif yang melaporkan data tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Dalam aplikasi pelaporan pemanfaatan insentif pajak PMK 9/2021 s.t.d.d. PMK 82/2021 di DJP Online, otoritas mengimbau agar wajib pajak dan/atau pemberi kerja mengisi data dengan benar, lengkap, dan jelas.
"Apabila data yang dilaporkan tidak sesuai maka akan ditindaklanjuti dengan tindakan pengawasan oleh KPP," tulis DJP melalui notifikasi dalam aplikasi pelaporan di DJP Online, dikutip pada Rabu (8/9/2021). (sap)