Ilustarsi.
JAKARTA, DDTCNews – Bersamaan dengan momentum dua dekade desentralisasi fiskal, pemerintah dapat mengevaluasi implementasi pajak daerah.
Researcher DDTC Fiscal Research Lenida Ayumi mengatakan evaluasi itu bisa dijalankan bersamaan dengan reformasi struktural melalui Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
“Apalagi, hingga saat ini, peran pajak daerah sebagai salah satu sumber utama pendapatan asli daerah (PAD) masih belum dilaksanakan secara optimal,” ujarnya, Selasa (14/9/2021).
Ada beberapa indikator belum optimalnya peran pajak daerah. Pertama, daerah masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap dana perimbangan dengan rata-rata sebesar 58% dari total pendapatan daerah dalam 5 tahun terakhir. Dana perimbangan meningkat rata-rata 6,9% tiap tahun.
Kedua, penerimaan pungutan pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) juga masih rendah. Berdasarkan kalkulasi DDTC Fiscal Research, rata-rata tax ratio seluruh daerah di Indonesia, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, pada 2015-2019 hanya mencapai 1,37%.
Ketiga, adanya ketimpangan kapasitas fiskal antardaerah (fiscal imbalances) yang masih cenderung tinggi khususnya antara daerah kabupaten dan kota.
Fenomena rendahnya kontribusi pajak serta adanya ketimpangan fiskal antardaerah menunjukkan desain kebijakan ke depan seharusnya perlu didasari kepada kebutuhan kebutuhan nyata, potensi, dan akar permasalahan yang terdapat di masing-masing daerah (desentralisasi asimetris).
Pasalnya, perlakuan desentralisasi yang sama dapat memunculkan outcome yang asimetris di setiap daerah. Daerah-daerah yang memiliki keunggulan komparatif berpotensi untuk mendapatkan manfaat lebih besar ketimbang daerah-daerah lainnya.
Hal tersebut dibuktikan dengan kinerja pajak yang relatif lebih tinggi pada wilayah sentra pertumbuhan serta daerah dengan basis pajak yang besar seperti kawasan perkotaan.
Oleh karena itu, sambung Ayumi, rencana perluasan basis pajak dalam RUU HKPD idealnya dapat mengakomodasi perbedaan karakteristik antara daerah perkotaan dan kabupaten. Hal tersebut diperlukan untuk mempersempit ketimpangan fiskal horizontal.
Melalui RUU HKPD, pemerintah juga berencana meningkatkan penerimaan pajak melalui sinergi dan kolaborasi antartingkat pemerintahan melalui mekanisme opsen. Secara umum, ketentuan opsen akan menggantikan skema bagi hasil yang selama ini berjalan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
“Apabila diimplementasikan dengan baik, mekanisme ini dapat berpeluang untuk meminimalkan ketimpangan fiskal vertikal serta meningkatkan sinergi pengelolaan pajak daerah,” imbuh Ayumi.
Namun demikian, sambungnya, terdapat 2 aspek yang perlu diperhatikan pemerintah dalam implementasi opsen. Pertama, kejelasan dalam pengaturan tarif opsen agar tidak memberatkan wajib pajak. Kedua, penentuan mekanisme administrasi opsen yang optimal.
Apabila opsen dipungut/diadministrasikan di tingkat kabupaten/kota, pemerintah juga perlu mempersiapkan pengelolaan administrasi. Hal ini penting agar pemungutan pajak yang selama ini sudah baik diadministrasikan di tingkat provinsi dapat dipertahankan, bahkan makin efektif dan efisien.
Selain dalam tataran kebijakan, evaluasi komprehensif melalui RUU HKPD juga perlu menyasar pada tata kelola ekonomi dan fiskal daerah. Berbagai menu perbaikan kebijakan tersebut, lanjut Ayumi, akan optimal apabila ditopang dengan tata kelola yang efektif dan efisien.
Ayumi mengatakan hal itu juga selaras dengan karakteristik pajak daerah di Indonesia yang cenderung elastis (buoyant) dan pro-cyclical terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, tata kelola pajak yang mendukung aktivitas perekonomian dan pembentukan investasi juga berpotensi untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak daerah.
Dalam konteks tersebut, menurut dia, optimalisasi peran pajak sebagai instrumen pengaturan (regulerend) juga perlu untuk diseimbangkan. Pada gilirannya, desain peningkatan kapasitas pajak daerah yang ideal dapat mendukung agenda kebijakan nasional serta kesinambungan fiskal, khususnya dalam konteks pemulihan ekonomi.
Seperti diketahui, RUU HKPD merupakan salah satu bagian dari agenda reformasi struktural yang tengah dilaksanakan oleh pemerintah. Melalui regulasi ini, pemerintah menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien.
Alokasi yang efisien itu dihasilkan melalui hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Hal ini untuk mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh daerah.
Tujuan tersebut diturunkan kembali ke dalam 4 pilar, salah satu di antaranya adalah penyesuaian terhadap UU 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pemungutan pajak.
Peningkatan kapasitas tersebut dilakukan melalui beberapa instrumen seperti perluasan basis pajak, simplifikasi struktur pajak, mekanisme opsen, serta harmonisasi pajak daerah untuk mendukung implementasi UU Cipta Kerja. (kaw)