Ilustrasi.
PENDAPATAN diupayakan meningkat tanpa distori terhadap pertumbuhan ekonomi. Formula kebijakan yang tidak mudah, terutama jika diletakkan dalam situasi krisis seperti sekarang akibat pandemi Covid-19. Perlu dilakukan secara hati-hati.
Formula itu pula yang sepertinya ingin diusulkan pemerintah pusat dalam perubahan desain kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Usulan telah masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
“Perubahan kebijakan PDRD diarahkan untuk mendukung peningkatan pendapatan daerah. Namun, tetap menjaga akses masyarakat atas layanan dasar wajib dan kemudahan berusaha sebagaimana semangat dari UU Cipta Kerja,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Sebelum membahas RUU HKPD, pemerintah dan DPR memang sudah mengesahkan UU Cipta Kerja pada 2020. Semangat dari payung hukum tersebut adalah kemudahan berusaha sebagai upaya menstimulus perekonomian daerah. Kebijakan pengawasan dan evaluasi Perda PDRD juga diperbarui.
Kemenkeu mencatat masih dianggarkannya beberapa jenis PDRD ilegal dalam APBD 2012 dan 2013 oleh beberapa pemerintah daerah. Pungutan itu seperti pajak menara selular, pajak pendaftaran perusahaan, retribusi izin tempat usaha, retribusi izin prinsip/lokasi, dan sebagainya.
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri, kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) juga masih rendah. Selama 2 dekade desentralisasi fiskal berjalan, kemandirian fiskal daerah masih belum terjadi. Pemerintah daerah masih mengandalkan dana perimbangan dari pemerintah pusat.
Transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) meningkat tiap tahun. Proporsinya terhadap pendapatan APBD secara nasional juga selalu dominan, yakni hampir 70%. Meskipun cenderung naik, kinerja PAD hanya berkontribusi rata-rata kurang dari 25% pendapatan APBD.
Selain itu, separuh provinsi di Indonesia memiliki kapasitas fiskal daerah (KFD) kelompok rendah dan sangat rendah. Pada 4 provinsi dengan indeks KFD tertinggi pada 2021 misalnya, ada gap yang jauh antara DKI Jakarta (11,391) dan Jawa Barat (3,602), Jawa Timur (2,541), serta Jawa Tengah (2,541).
Berbagai performa indikator tersebut menjadi alasan tetap diperlukannya upaya mewujudkan kemandirian fiskal meskipun desentralisasi fiskal yang diterapkan di Indonesia lebih mengarah pada desentralisasi dari sisi belanja (expenditure assignment).
Stagnasi local tax ratio nyatanya menjadi pijakan pemerintah untuk mengurai tantangan dan rencana penyesuaian desain kebijakan PDRD melalui RUU HKPD. Salah satu pilar HKPD adalah pengembangan sistem PDRD yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien.
Dalam konteks ini, pemerintah ingin menegaskan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) serta PDRD merupakan satu-kesatuan dalam pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Penegasan ini diperlukan pemanfaatannya difokuskan pada tujuan bernegara.
Oleh karena itulah, RUU HKPD mengintegrasikan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Keduanya merupakan payung hukum desentralisasi fiskal selama ini.
“Pengaturan-pengaturan dalam RUU HKPD diharapkan memberikan kemampuan kepada pemerintah daerah untuk secara bersama-sama dan sinergis dengan pemerintah pusat dalam mencapai tujuan pembangunan nasional,” kata Sri Mulyani.
SALAH satu pengaturan yang diusulkan pemerintah dalam RUU HKPD adalah konsolidasi struktur PDRD. Pemerintah mengusulkan restrukturisasi dan integrasi jenis pajak daerah yang menjadi kewenangan provinsi dari 5 menjadi 7 jenis serta kewenangan daerah dari 11 menjadi 8 jenis.
Terkait dengan restrukturisasi pajak daerah itu, pemerintah mengusulkan integrasi 5 jenis pajak berbasis konsumsi menjadi pajak atas barang dan jasa tertentu (PBJT). Kelima jenis pajak yang diintegrasikan adalah pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak penerangan jalan, dan pajak parkir.
Mengutip Naskah Akademik RUU HKPD, pembedaan 5 jenis pajak yang memiliki karakteristik sama tersebut memunculkan administrasi tidak sederhana. Hal ini terutama untuk wajib pajak dengan kepemilikan usaha hotel, restoran, hiburan, parkir, serta penggunaan tenaga listrik sekaligus.
Alhasil, satu wajib pajak yang menyelenggarakan kelima aktivitas tersebut harus membayar 5 jenis pajak daerah dan melaporkan 5 jenis Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). Oleh karena itu, integrasi hadir untuk menyederhanakan administrasi.
Kemudian, untuk retribusi daerah, pemerintah mengusulkan adanya rasionalisasi dari 32 menjadi 18 jenis. Adapun 18 jenis retribusi daerah tersebut akan dicakup dalam 3 kelompok retribusi, yakni jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Retribusi ini nantinya dapat dipungut dengan efektif.
“Harapannya akan menurunkan administrative and compliance cost sehingga optimalisasi pemungutan jadi lebih baik dan terintegrasi,” jelas Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti.
Adapun konsolidasi struktur PDRD juga tetap memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seperti menyangkut pajak alat berat dan pajak penerangan jalan. Kemudian, penyesuaian juga melihat pengaturan UU lainnya, seperti dihapusnya izin gangguan (HO).
Selain itu, penyelarasan juga perlu dilakukan terhadap beberapa aturan tentang administrasi perpajakan daerah yang terkait dengan evaluasi Raperda, pembatalan Perda dan pengenaan Sanksi, serta tata cara pemungutan pajak daerah dalam UU Pemda dan UU Cipta Kerja.
Dengan demikian, akan ada harmonisasi mekanisme pengaturan antara RUU HKPD dan UU Cipta Kerja. Tujuannya sama, yakni agar penyelesaian evaluasi Raperda PDRD oleh pemerintah pusat dapat dipercepat. Jumlah Perda PDRD pada gilirannya tidak akan bertambah lebih banyak.
RESTRUKTURISASI pajak daerah juga mencakup pemberian kewenangan pemungutan opsen pajak pada level pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Skema opsen pajak ini diberikan sebagai bagian dari upaya perluasan basis pajak. Opsen pajak sebagai penggantian skema bagi hasil.
Pasalnya, selama ini, mekanisme bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota menimbulkan masalah keterlambatan penerimaan. Hal ini dikarenakan pemerintah provinsi pada umumnya menyalurkan bagi hasil pajak secara periodik dan bergantung pada kebijakan masing-masing daerah.
Adanya opsen pajak membuat sebagian pembayaran pajak kepada pemerintah provinsi akan seketika diterima pemerintah kabupaten/kota secara paralel. Begitu pula sebaliknya atas opsen pajak kabupaten/kota kepada provinsi.
Adapun 3 jenis pajak daerah yang memperkenalkan opsen pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Ketiganya adalah pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), dan pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB).
Dalam RUU HKPD, tarif opsen PKB diusulkan sebesar 40%, opsen BBNKB 30%, dan opsen pajak MBLB sebesar 25%. Besaran tarif opsen akan ditetapkan dengan Perda. Agar beban wajib pajak tidak bertambah signifikan atau relatif tetap, tarif PKB, BBNKB, dan pajak MBLB perlu diturunkan.
"Opsen diharapkan akan meningkatkan sinergi pengelolaan pajak provinsi dan kabupaten/kota, termasuk pelaksanaan penagihan, pemeriksaan, dan pemeliharaan basis data pajak daerah," ujar Mantan Dirjen Pajak Machfud Sidik saat memberikan masukan melalui Komisi XI DPR.
Researcher DDTC Fiscal Research Lenida Ayumi berpendapat rencana perluasan basis pajak dalam RUU HKPD idealnya dapat mengakomodasi perbedaan karakteristik antara daerah perkotaan dan kabupaten. Hal tersebut diperlukan untuk mempersempit ketimpangan fiskal horizontal.
Peningkatan penerimaan pajak melalui melalui mekanisme opsen juga berpeluang meminimalkan ketimpangan fiskal vertikal serta meningkatkan sinergi pengelolaan pajak daerah. Namun demikian, terdapat 2 aspek yang perlu diperhatikan pemerintah dalam implementasi opsen.
Pertama, kejelasan dalam pengaturan tarif opsen agar tidak memberatkan wajib pajak. Kedua, penentuan mekanisme administrasi opsen yang optimal. Pemerintah juga perlu mempersiapkan pengelolaan administrasi agar pemungutan pajak makin efektif dan efisien.
Berdasarkan pada data simulasi yang disampaikan pemerintah, perubahan kebijakan PDRD melalui RUU HKPD akan berdampak pada peningkatan PAD rata-rata nasional sebesar 7,56%, kabupaten 22,72%, dan kota 16,27%. Sementara PAD rata-rata provinsi turun 2,05%.
Penurunan PAD provinsi merupakan penurunan bruto karena perubahan beberapa jenis hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota menjadi opsen. Namun demikian, secara neto, PAD provinsi akan tetap meningkat.
Jika dilihat pada level kabupaten, peningkatan PAD di Jawa-Bali dan Sumatra masing-masing sebesar 26,50% dan 22,96%. Kemudian, peningkatan PAD di Kalimantan sebesar 19,64%, Sulawesi sebesar 18,73%, serta Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 10,84%.
Pada level kota, peningkatan PAD di Jawa-Bali sebesar 18,96%. Kemudian, peningkatan PAD di Kalimantan sebesar 17,65%, Sumatra sebesar 17,29%, Sulawesi sebesar 12,81%, serta Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 7,39%.
Pada level provinsi, seluruh region mengalami penurunan PAD bruto dengan penurunan tertinggi di Sumatera sebesar -6,74% dan penurunan terendah di Jawa-Bali -0,21%. Meskipun PAD bruto menurun, PAD neto tetap meningkat karena hilangnya belanja bagi hasil PKB dan BBNKB.
Mengacu pada DDTC Working Paper bertajuk Mempertimbangkan Reformasi Pajak Daerah berdasarkan Analisis Subnational Tax Effort, optimalisasi kinerja pajak daerah dapat menurunkan tingkat ketergantungan daerah terhadap dana perimbangan.
Reformasi pajak daerah juga perlu menyasar pada pembenahan penetapan target pajak. Sebagian besar daerah berhasil mengumpulkan pajak daerah melebihi target yang ditetapkan dalam APBD. Padahal, daerah-daerah itu cenderung memiliki tax effort yang rendah.
Artinya, proses penetapan target pajak daerah kemungkinan tidak disusun berdasarkan pada analisis potensi atau bersifat underestimated. Fenomena ini dapat berdampak pada keberhasilan kemandirian fiskal daerah yang membutuhkan waktu lebih lama.
Atas usulan pemerintah, Komisi XI DPR telah melakukan serangkaian rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan berbagai pihak terkait. Seluruh fraksi juga sudah menyampaikan daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk pembahasan selanjutnya dengan pemerintah.
Salah satu catatan terkait dengan PDRD disampaikan Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP Andreas Eddy Susetyo. Fraksinya telah melihat upaya untuk melakukan sinkronisasi perubahan kebijakan dengan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sehingga dapat menjawab tantangan. (kaw)