Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dan DPR melakukan sejumlah perubahan ketentuan mengenai pajak pertambahan nilai (PPN) melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Wakil Ketua Komisi XI DPR sekaligus Pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU HPP Dolfie OFP mengatakan pemerintah akan menerbitkan berbagai peraturan teknis untuk implementasi beleid tersebut. Peraturan teknis yang dimaksud bisa berupa peraturan menteri keuangan (PMK) hingga peraturan pemerintah (PP).
"Peraturan pelaksanaannya, terbagi menjadi ada yang diturunkan oleh PMK, ada yang oleh PP, ada PP yang dikonsultasikan dengan DPR, ada juga yang diatur melalui mekanisme APBN," katanya, dikutip Kamis (14/10/2021).
UU HPP memerinci berbagai hal yang membutuhkan peraturan teknis. Khusus mengenai PPN, pemerintah harus menerbitkan PP mengenai kegiatan yang memperoleh fasilitas pembebasan atau tidak dipungut PPN sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu maupun selamanya.
UU tersebut juga telah menjelaskan fasilitas PPN terutang yang tidak dibebaskan atau tidak dipungut dapat diberikan, baik sementara waktu maupun selamanya, untuk berbagai tujuan. Salah satunya yakni mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional antara lain barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan medis, jasa pendidikan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial.
Kemudian, PP juga dapat diterbitkan pemerintah ketika hendak mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Perubahan tarif PPN diatur dengan PP setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN.
Selain itu, hal teknis lain mengenai PPN yang tertuang dalam UU HPP akan diatur menggunakan PMK. Pada bab Pendelegasian Kewenangan, diperinci 9 hal teknis yang akan diatur dalam PMK.
Hal teknis tersebut yakni pertama, nilai lain yang dapat menjadi dasar pengenaan tarif PPN, selain harga jual, penggantian, nilai impor, dan nilai ekspor. Kedua, kriteria belum melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP oleh pengusaha yang pajak masukannya dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan.
Ketiga, penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan pajak masukan. Keempat, pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Kelima, pedoman pengkreditan pajak masukan.
Keenam, penentuan sektor usaha tertentu yang PKP-nya belum melakukan penyerahan BKP dan/atau jasa kena pajak dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP terkait dengan pajak masukan sampai dengan jangka waktu 3 tahun sehingga pajak masukan yang telah dikreditkan dalam jangka waktu 3 tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
Ketujuh, pembayaran kembali pajak masukan ke kas negara karena PKP telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas pajak masukan dan/atau telah mengkreditkan pajak masukan dimaksud dengan pajak keluaran yang terutang dalam suatu masa pajak.
Kedelapan, pengkreditan pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JLP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP; pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah dabean yang tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan masa PPN yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh PKP; serta pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh PKP.
Terakhir, PMK akan diterbitkan untuk mengatur jumlah peredaran usaha tertentu, jenis kegiatan usaha tertentu, jenis BKP tertentu, jenis JKP tertentu, dan besaran PPN final. (sap)