ROUND UP FOKUS AKHIR TAHUN

Berharap Nasib Baik Pajak dari Implementasi UU HPP

Sapto Andika Candra
Kamis, 16 Desember 2021 | 10.00 WIB
Berharap Nasib Baik Pajak dari Implementasi UU HPP

Foto pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Jumat (10/12/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.

"BUKAN mau meras Bapak Ibu semuanya. Bukan! Tetapi karena melihat potensinya masih besar sekali."

Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih dari 7 tahun lalu, tepatnya pada September 2014 silam, sebelum dirinya dilantik sebagai orang nomor 1 di negara ini. Saat itu, Jokowi yang masih menyandang titel 'capres terpilih' menghadiri undangan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), didampingi Jusuf Kalla.

Jokowi meminta pengusaha lebih taat membayar pajak sebagai bagian dari kewajibannya. Kala itu, Jokowi juga sempat menyinggung terkait sensitifnya isu pajak kalau dibahas bersama pengusaha. Kata dia, pengusaha lebih memilih menghindar kalau diajak diskusi soal pajak.

Bahkan sejak sebelum menjabat, terlihat jelas arah kebijakan Presiden Jokowi terkait dengan perpajakan, yakni menjalankan reformasi pajak demi mendorong sistem yang lebih adil dan menggenjot penerimaan. Niatan itu kemudian bertransformasi panjang melalui sejumlah kebijakan perpajakan yang lahir setelahnya.

Dimulai dengan lahirnya UU Pengampunan Pajak pada 2016. Kemudian, berlanjut dengan konsolidasi dan keberlanjutan reformasi pajak sampai hari ini. Teranyar, Presiden Jokowi mengundangkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 29 Oktober 2021 setelah disahkan parlemen 3 pekan sebelumnya.

Beleid yang bersifat omnibus tersebut awalnya dikemas dengan nama RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Namun, karena poin-poin di dalamnya merombak sejumlah UU sekaligus, perubahan nama pun dilakukan.

Pembahasannya juga cukup cepat, dengan pengesahan menjadi UU hanya berselang 1,5 bulan sejak daftar inventaris masalah (DIM) masuk ke DPR pada awal September 2021. Pola penyusunan sejumlah UU krusial sebelumnya, seperti UU Cipta Kerja dan UU Tax Amnesty, juga digarap kilat.

Memperkuat Penerimaan

Dikebutnya UU HPP punya banyak latar tujuan. Tak sekadar menjadi bagian dari reformasi pajak, lahirnya beleid ini menjadi salah satu jurus menajamkan penerimaan ke depan. Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyampaikan cita-cita Indonesia menjadi high income country pada 2045. Targetnya, menjadikan Indonesia negara dengan ekonomi terbesar keempat dunia. Ini jangka panjangnya.

Jangka pendeknya, UU HPP jadi obat pemulihan ekonomi akibat Covid-19. Indonesia memang butuh resep paling ampuh untuk mempercepat penyembuhan ekonomi yang sempat babak belur dihantam pandemi. Lesunya ekonomi pada 2020 lalu misalnya, membuat penerimaan pajak terkontraksi 19,7%.

Berselang nyaris 1 tahun, terhitung per pekan kedua Desember 2021 kondisinya sudah jauh membaik. Kementerian Keuangan merilis penerimaan pajak mencapai Rp1.106,6 triliun, tembus 90% dari target dalam pagu APBN Rp1.229,6 triliun. Otoritas masih punya waktu 2 pekan tersisa untuk mengumpulkan sisa target Rp123 triliun.

Namun, perbaikan yang berlangsung setahun terakhir belum cukup. Ancaman pandemi yang belum usai ditambah kinerja industri yang belum 100% pulih membuat Indonesia masih butuh sabuk pengaman yang kuat dari aspek kebijakan fiskal.

Ekonomi yang belum sepenuhnya pulih terlihat dari target penerimaan perpajakan 2022, dituangkan melalui Perpres 104/2021, sejumlah Rp1.510 triliun. Angka ini masih belum melampaui realisasi perpajakan pada 2019 atau era prapandemi yang tercatat senilai Rp1.546,14 triliun.

Catatannya, angka target penerimaan perpajakan dalam APBN 2022 memang belum memperhitungkan potensi tambahan dari UU HPP. Sri Mulyani sempat mengungkapkan UU HPP berpotensi menambah penerimaan perpajakan hingga Rp130 triliun. Jika angka itu tercapai, tax ratio juga bisa naik ke 9,22% dari PDB.

UU HPP digadang-gadang menjadi kendaraan pemerintah untuk mengerek tax ratio di tahun-tahun yang akan datang. Beleid ini diyakini bakal memperkuat dan memperluas basis perpajakan Indonesia. Sri Mulyani juga bilang UU HPP akan membawa Indonesia melewati disrupsi luar biasa yang terjadi akibat Covid-19.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menekankan UU HPP akan mengoptimalkan penerimaan pajak pada 2022 dan tahun-tahun berikutnya. Tak salah jika dibilang 2022 menjadi tahun yang krusial bagi pemerintah dalam mengelola keuangan negara.

Bagaimanapun, tahun depan menjadi kesempatan terakhir pemerintah untuk melonggarkan defisit APBN di atas 3% terhadap PDB. Sesuai dengan UU 2/2020, defisit APBN mau tak mau harus kembali ke bawah 3% terhadap PDB mulai 2023 mendatang.

Khusus 2022 nanti, pemerintah dan DPR menyepakati UU APBN yang mematok target pendapatan negara Rp1.846,1 triliun dengan belanja Rp2.714,1 triliun. Artinya, defisit yang perlu ditanggung sejumlah Rp868 triliun atau 4,85% dari PDB. Khusus pajak, pemerintah menargetkan penerimaan mencapai Rp1.265 triliun pada 2022.

Namun, sekali lagi, angka target yang tertuang dalam UU APBN 2022 belum memasukkan peluang tambahan penerimaan dari UU HPP. Penerimaan pajak misalnya, diprediksi bisa terdongkrak menjadi Rp1.401,3 triliun pada 2022 dengan memperhitungkan tambahan dari kebijakan UU HPP.

Kalau diperinci memang ada beberapa ketentuan dalam UU HPP yang berpotensi mendongkrak penerimaan perpajakan. Misalnya, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% per 1 April 2022, penambahan bracket tarif pajak penghasilan (PPh) pada lapisan tertinggi sebesar 35%, serta berlakunya program pengungkapan sukarela (PPS) selama 6 bulan dimulai 1 Januari 2022 mendatang.

Saat ditanya terkait sejauh mana peranan UU HPP dalam mengejar target penerimaan tahun 2022, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo lebih memilih untuk berhati-hati menjawab. Suryo menekankan beleid ini lebih berfungsi untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan mendukung pembangunan jangka panjang.

"UU HPP akan menjadi batu pijak yang sangat penting bagi proses reformasi selanjutnya. Aturan yang termuat diharapkan dapat berperan mendukung upaya percepatan pemulihan perekonomian dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan," jelas Suryo.

UU HPP, ujar Suryo, dalam lingkup luas juga berfungsi untuk memperluas basis pajak, menutup celah praktik erosi perpajakan, memberikan kepastian hukum, hingga menyesuaikan ketentuan domestik dengan international best practice.

Mengacu pada data yang dirilis Kementerian Keuangan, UU HPP memang memiliki implikasi yang signifikan terhadap penerimaan pajak tahun 2022 mendatang. Pertumbuhan penerimaan pajak pada 2022 diprediksi 7,97%. Angka ini belum memasukkan tambahan penerimaan dari UU HPP. Jika kebijakan-kebijakan baru dari UU HPP dihitung, maka pertumbuhan penerimaan pajak bisa tembus 19,6%. Jauh bukan bedanya?

Menariknya, kinerja pertumbuhan penerimaan pajak kembali 'jatuh' (dengan memasukkan UU HPP dalam perhitungan) menjadi 9,68% pada 2023. Angkanya kembali merangkak naik menjadi 12,01% pada 2024 dan 16,89% pada 2024. Dari sini terlihat bahwa UU HPP memang meningkatkan kinerja penerimaan secara signifikan pada 2022 meskipun kembali turun lagi sebelum akhirnya tumbuh stabil.

Terkait dengan jenis pajak yang menjadi andalan pada 2022, pemerintah memproyeksikan penerimaan PPh migas sebesar 3,4% pada 2022 sebagai imbas dari kenaikan harga minyak dunia. Peningkatan penerimaan PPh nonmigas juga diprediksi mencapai 11,3% dibandingkan outlook pada 2021 karena dipengaruhi perbaikan aktivitas ekonomi nasional.

PPN dan PPnBM juga diproyeksikan mengalami pertumbuhan 10,5% dari outlook pada 2021. Sesuai dengan APBN 2022, PPh migas diprediksi tercapai Rp47,3 triliun, sedangkan penerimaan PPh nonmigas ditargetkan Rp633,6 triliun. Penerimaan dari PPN dan PPnBM dipatok Rp554,4 triliun.

Secara lebih spesifik untuk PPh badan, meski target penerimaan belum pulih seperti sebelum pandemi, pemerintah meyakini terus terjadi perbaikan. Hal ini seiring dengan makin pulihnya aktivitas usaha dan masih diberikannya sejumlah insentif usaha pada 2022 mendatang. DJP belum memberi penegasan terkait insentif pajak yang pemberiannya dilanjutkan pada 2022.

Demi mengamankan penerimaan pajak pada tahun depan, DJP juga menegaskan untuk terus memperbaiki mekanisme pengawasan melalui unit vertikalnya. Pada 2022, DJP juga menambah 10 KPP Madya baru sebagai salah satu cara menggenjot penerimaan. Tambahan KPP Madya ini akan berkontribusi pada 33,79% struktur penerimaan pajak.

Suryo Utomo juga meyakini penambahan KPP Madya mampu meningkatkan kepatuhan karena pengawasan dilakukan secara lebih tersegmentasi atas wajib pajak strategis.

DJP juga melanjutkan pengembangan core tax administration system pada 2022. Tahun depan, ujar Suryo, otoritas menjalankan tahapan build and test yang sudah dimulai sejak Juni 2021. Proses ini akan berlangsung sampai April 2023 mendatang dengan menambah pengujian pembangunan modul aplikasi sistem inti yang baru.

Kinerja penerimaan pajak pada 2022 mendatang masih terkait erat dengan penanganan pandemi Covid-19. Hal ini juga tercermin dari proyeksi capaian penerimaan pajak pada 2021 yang bisa mencapai target Rp1.229, triliun.

Sementara itu, DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA) memprediksi penerimaan pajak pada 2022 akan berada pada kisaran angka Rp1.298,6 triliun hingga Rp1.359 triliun. Proyeksi tersebut disusun dengan proyeksi ekonometri serta pola prediksi sebagaimana telah diulas pada DDTC Working Paper 2119 yang berjudul Metode dan Teknik Proyeksi Penerimaan Pajak: Panduan dan Aplikasi.

Dengan kata lain, terdapat pertumbuhan sebesar 5,6% hingga 10,5% dari target APBN 2021. Proyeksi realisasi penerimaan pajak 2022 tersebut seluruhnya berada di atas target penerimaan APBN 2022, yaitu sebesar 102,7% dan 107,4%.

Angka proyeksi tersebut juga telah turut mempertimbangkan adanya tambahan penerimaan hasil dari UU HPP yang akan diimplementasikan pada 2022. Estimasi tambahan penerimaan itu senilai Rp60,4 triliun atau berada di bawah prediksi pemerintah senilai Rp136,3 triliun.

Momentum yang Tepat

Partner DDTC FRA, B. Bawono Kristiaji, menyampaikan kinerja penerimaan pajak yang terus tumbuh dalam beberapa bulan terakhir memang sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi.

"Ini menunjukkan bahwa kinerja penerimaan pajak juga sangat terpengaruh atau tergantung dari pengelolaan sektor kesehatan dan mobilitas di kala pandemi," kata Bawono.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu lebih sigap dalam menyusun beragam aturan turunan UU HPP. Hal ini diarahkan untuk memberi kepastian kepada wajib pajak, khususnya dunia usaha.

Bawono menambahkan UU HPP bisa menjadi solusi atas persoalan fundamental perpajakan di Indonesia. Beleid ini mengemban harapan besar untuk bisa menyelesaikan permasalahan tax ratio dan tax buoyancy. UU HPP, ujarnya, juga dinilai mampu memobilisasi penerimaan pajak yang selama ini belum terdistribusi secara adil.

"Pasalnya, pascapandemi diprediksi bahwa pemulihan ekonomi akan berjalan lebih cepat dari pada pemulihan penerimaan pajak. Oleh karena itu, adanya UU HPP merupakan suatu terobosan dalam momentum yang tepat," imbuh Bawono. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.