Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Sosialisasi UU HPP di Jawa Barat, Jumat (17/12/2021).
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai pemberitaan yang berkembang mengenai integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) banyak yang salah dan menyesatkan.
Sri Mulyani menegaskan integrasi NIK dan NPWP tersebut bertujuan untuk memudahkan proses administrasi perpajakan. Dalam hal ini, wajib pajak juga diuntungkan karena tidak perlu memiliki banyak nomor identitas.
"[Informasi] itu pasti menakutkan masyarakat, tapi itu salah dan menyesatkan. NIK digantikan NPWP adalah untuk menyederhanakan dan untuk konsistensi sehingga Anda tidak punya nomor identitas yang berbeda-beda," katanya dalam acara Sosialisasi UU HPP di Jawa Barat, Jumat (17/12/2021).
Sri Mulyani menuturkan integrasi KTP dan NPWP menjadi bentuk transformasi dan reformasi administrasi perpajakan. Namun, hanya wajib pajak dengan pendapatan di atas threshold penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang harus membayar pajak.
Dia menyebut integrasi tersebut telah diawali dengan nomor identitas pengusaha yang menjadi wajib pajak di Ditjen Pajak (DJP) dan pengguna jasa di Ditjen Bea dan Cukai (DJBC). Kini, pemerintah ingin melanjutkan proses tersebut pada masyarakat luas melalui integrasi NIK dan NPWP.
Meski terjadi integrasi, Sri Mulyani menegaskan semua pemilik NIK tidak berarti memiliki kewajiban membayar pajak. Menurutnya, hanya wajib pajak dengan pendapatan di atas threshold penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang harus membayar pajak.
"Anda kalau tidak punya pendapatan, tidak bayar pajak," ujarnya.
Sri Mulyani menambahkan ketentuan mengenai PTKP tersebut diberlakukan untuk mendorong sistem pajak yang berkeadilan. Untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah tidak memungut pajak, tetapi justru memberikan berbagai bantuan sosial.
Contoh, sekitar 10 juta keluarga di Indonesia yang masuk kelompok berpenghasilan rendah. Pada kelompok tersebut, pemerintah tidak mengenakan pajak, tetapi memberikan program keluarga harapan (PKH) dan kartu sembako.
Sementara itu, pada kelompok masyarakat yang memiliki kewajiban membayar pajak, Sri Mulyani meyakinkan pajak yang terkumpul akan dibelanjakan dengan baik untuk membantu masyarakat miskin dan membangun negara.
"Membayar pajak itu bukan untuk dikumpulkan Kementerian Keuangan atau Pak Dirjen Pajak, tapi membantu yang tidak mampu, bangun infrastruktur," jelasnya.
Saat ini, pemerintah tidak mengubah ketentuan PTKP yang senilai Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Wajib pajak orang pribadi memiliki istri yang bekerja dan penghasilannya digabung dengan suami maka terdapat tambahan PTKP sebesar Rp54 juta per tahun.
Menkeu kemudian menjelaskan ketentuan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi juga diubah melalui UU HPP. Pada beleid tersebut, lapisan penghasilan kena pajak sebesar Rp0 hingga Rp60 juta dikenai tarif PPh sebesar 5%.
Pada ketentuan sebelumnya, tarif PPh sebesar 5% dikenakan atas lapisan penghasilan kena pajak sebesar Rp0 hingga Rp50 juta. Menurutnya, perubahan lapisan penghasilan kena pajak PPh orang pribadi tersebut untuk menciptakan pengenaan pajak yang lebih berkeadilan. (rig)