ROUND UP FOKUS

Otak-Atik Aturan Pajak NFT dan Aset Digital Lainnya

Ringkang Gumiwang
Rabu, 02 Februari 2022 | 10.00 WIB
Otak-Atik Aturan Pajak NFT dan Aset Digital Lainnya

TAHUN 2021 menjadi tahun paling booming bagi non-fungible token (NFT). Buktinya, NFT masuk dalam salah satu pencarian populer di Google Trend 2021. NFT bahkan mengalahkan kata “crypto” yang sebelumnya masuk dalam pencarian paling populer di mesin pencari Google.

NFT adalah aset digital yang mewakili barang berharga dengan nilai yang tidak dapat diganti atau ditukarkan. Setiap NFT memiliki data catatan transaksi di dalam blockchain. Data ini berisi tentang siapa penciptanya, harga, dan histori kepemilikannya. Barang yang bisa dijual dengan bentuk NFT bisa berupa karya seni seperti aset game, foto, video, musik, dan lainnya.

NFT sesungguhnya sudah muncul sejak 2014. Namun, 2021 menjadi tahun pertama bagi aset digital ini mampu mendisrupsi dunia seni dan industri lainnya. Belum lagi, iming-iming penghasilan tinggi yang didapat dari berjualan NFT juga menambah daya tarik aset tersebut.

Sensasi NFT juga terjadi di Indonesia. Sultan Gustaf Al Ghozali mendadak menjadi pusat perhatian publik lantaran meraup keuntungan hingga Rp1,5 miliar dari penjualan swafoto (selfie) dalam 5 tahun terakhir melalui NFT di Opensea.io.

Cerita Ghozali pun viral dan menghebohkan jagat media sosial. Ghozali pun tak luput dari perhatian Ditjen Pajak (DJP). Otoritas pajak bahkan mengingatkan Ghozali untuk segera membayar pajak dari penghasilan yang didapat tersebut.

Selain Ghozali, sejumlah artis dan tokoh juga tidak ketinggalan mengambil peluang dari NFT di antaranya adalah Syahrini dan Anang Hermansyah. Token NFT Anang pun dikabarkan laris manis dan membuat server down.

Akan tetapi, di tengah euforia tersebut, NFT justru menjadi sebuah tantangan baru bagi otoritas pajak, terutama dalam mengejar penerimaan negara. Belum lagi, terdapat temuan dari otoritas pajak AS yang menyatakan NFT rentan menjadi alat untuk menghindari pajak.

Regulasi belum memadai
TAK bisa dimungkiri, perkembangan teknologi informasi telah memberikan kemudahan bagi warga negara untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah. Namun, pesatnya teknologi juga bisa saja memberikan kesulitan apabila tidak segera diantisipasi.

Salah satu persoalan di Indonesia dalam mengantisipasi perkembangan teknologi adalah mengenai regulasi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan mengakui regulasi di Indonesia belum memadai untuk mengakomodasi perkembangan aset dan produk keuangan digital.

"Peraturan perundang-undangan di sektor keuangan untuk mengantisipasi teknologi digital sangat tidak memadai. Jadi ini memang priority karena kalau tidak ya, kita akan terus dalam situasi awkward atau kikuk," katanya.

Saat ini, aset digital tengah menjadi tren dunia. Tak ayal, tak sedikit yang ingin mencoba mengambil peluang dari mata uang kripto (cryptocurrency) dan NFT. Ke depan, bukan tidak mungkin muncul jenis aset digital lainnya.

Pemerintah sebenarnya tidaklah tinggal diam. Kemenkeu bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mulai membahas regulasi terkait dengan aset dan produk keuangan digital. KSSK juga akan mengamati peraturan yang digunakan negara lain sebagai bahan perbandingan.

Dalam pembuatan regulasi, lanjut Sri Mulyani, pemerintah akan mengaturnya secara prinsip sehingga tetap relevan untuk jangka panjang. Bagaimanapun, perubahan pada teknologi digital tersebut jauh lebih cepat ketimbang proses pembuatan sebuah regulasi.

"[Regulasi] ini akan principal base, jadi tak mudah expired. Kalau berdasarkan produk atau institusi, nanti begitu ada perubahan akan susah untuk catching up," tuturnya.

Penyusunan aturan atas aset digital juga tengah dilakukan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Aturan yang sedang disusun Bappebti di antaranya pendirian bursa kripto dan penentuan tarif pajak penghasilan atas aset kripto bersama Kementerian Keuangan.

Plt Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan rencana pengenaan pajak atas aset kripto masih dibahas. Pembahasan tersebut dilakukan Kemendag bersama dengan Kementerian Keuangan.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia Teguh Kurniawan Harmanda mengusulkan tarif PPh final aset kripto sebesar 0,05%. Menurutnya, apabila tarif PPh final aset kripto disamakan dengan saham sebesar 0,1% dikhawatirkan membebani industri.

“Kami berpikir kalau 0,1% seperti di bursa saham itu diterapkan itu akan membebani industri karena commission fee kami juga hanya nol koma sekian persen. Tokocrypto itu cuma 0,1%. Kalau pajaknya 0,1% kasihan juga customer-nya,” tuturnya.

Kompleksitas
DALAM laporan berjudul Taxing Virtual Currencies An Overview of Tax Treatments and Emerging Tax Policy Issues, OECD menilai langkah untuk memajaki aset digital tidaklah mudah. Hal ini disebabkan di antaranya adanya kompleksitas dalam mendefinisikan aset digital.

Kesulitan tersebut juga tercermin dari banyaknya pertanyaan dari negara-negara anggota OECD terkait dengan pemajakan aset digital. Contoh, bagaimana perlakuan pajak penghasilan dari aset digital, apakah pajak langsung atau tidak langsung?

Bagaimana pula sistem PPN dapat diterapkan untuk atas aset digital? Lalu, seperti apa implikasinya jika pajak atas aset digital diperlakukan berbeda? Ada juga pertanyaan, bagaimana cara mendeteksi risiko penghindaran pajak dari aset digital?

Lebih lanjut, OECD dalam laporannya tersebut juga memberikan beberapa wawasan (insight) yang dapat dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan yang ingin mengatur perlakuan pajak atas aset digital.

Pertama, pembuat kebijakan perlu memastikan memiliki panduan dan kerangka kerja legislatif yang jelas. Kedua, pembuat kebijakan harus dapat memberikan alasan yang jelas terkait dengan perlakuan pajak atas aset digital.

Ketiga, perlakuan pajak terhadap aset digital diharapkan dapat konsisten dengan perlakuan pajak atas aset lainnya. Keempat, perlakuan pajak atas aset digital diharapkan koheren dengan kerangka peraturan yang lebih luas.

Kelima, pembuat kebijakan perlu mendukung peningkatan kepatuhan. Keenam, pembuat kebijakan perlu menyediakan aturan pajak yang sederhana, terutama bagi pedagang kecil. Ketujuh, pembuat kebijakan mempertimbangkan risiko perlakuan pajak aset digital yang dapat melemahkan kebijakan lainnya.

Kesederhanaan dan Kemudahan Aturan
Melihat perkembangan saat ini, transaksi atas kripto dan NFT memiliki potensi pajak yang besar di Indonesia. Untuk itu, penguatan kerangka regulasi dalam hal pemajakan aset digital sangat penting guna menciptakan kepastian hukum bagi otoritas pajak dan wajib pajak.

Researcher DDTC Fiscal Research & Advisory Hamida Amri Safarina menuturkan pemerintah perlu melakukan klasifikasi dan analisis atas berbagai skema transaksi aset digital yang mungkin dapat menimbulkan beban perpajakan.

“Melalui skema yang diperoleh tersebut, dapat menjadi dasar penentuan jenis pajak yang terutang, subjek pajak, dan wajib pajaknya. Kemudian, perlu juga untuk menentukan kapan terutang pajak, cara penghitungan, besaran tarif, dan sistem administrasi pelaporan,” tuturnya.

Selain itu, lanjut Hamida, otoritas juga perlu meneliti lebih lanjut apakah keuntungan atas transaksi cryptocurrency termasuk dalam pengertian dari tambahan penghasilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 No. 7/1983 s.t.d.t.d. UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPh), atau tidak.

Dia juga berharap kebijakan pajak yang dibuat dapat tetap memperhatikan aspek kesederhanaan dan kemudahan. Menurutnya, proses pemotongan oleh pihak ketiga bisa dipertimbangkan sehingga bisa memberikan kemudahan bagi pemilik aset digital.

Kehadiran aset digital, seperti NFT dan kripto, yang masuk Indonesia sesungguhnya menjadi sinyal positif terciptanya sumber-sumber penerimaan baru. Namun, perlu kebijakan yang tepat agar potensi pajak dapat dikejar tanpa mengganggu iklim bisnis aset digital. 

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.