ROUND UP FOKUS

Saatnya Pimpin Orkestrasi Pembahasan Perpajakan Internasional

Redaksi DDTCNews
Rabu, 23 Februari 2022 | 09.00 WIB
Saatnya Pimpin Orkestrasi Pembahasan Perpajakan Internasional

Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan secara virtual saat berlangsungnya Pertemuan Tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G-20 di Jakarta, Kamis (17/2/2022). Pertemuan ini merupakan rangkaian Presidensi G-20 Indonesia dalam jalur keuangan yang membawa 6 agenda prioritas, salah satunya perpajakan internasional. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.

PERUMUSAN solusi 2 pilar (two pillar solution) atas tantangan pajak yang muncul akibat digitalisasi ekonomi memang menyita perhatian dunia dalam beberapa waktu terakhir. Isu ini mendominasi program kerja OECD/G-20 Inclusive Framework on BEPS (IF).

Maklum, sekadar mengingatkan kembali, diskusi di meja perundingan sempat buntu hingga akhirnya terjadi kesepakatan dalam pertemuan G-20 di Venesia, Italia pada 2021. Waktu itu, 132 dari 139 negara/yurisdiksi anggota IF, mewakili lebih dari 90% produk domestik bruto (PDB) global, menyepakati solusi melalui kedua pilar.

Tidak dimungkiri, berubahnya suasana di meja perundingan dipengaruhi sikap Amerika Serikat (AS) yang lebih kooperatif. Joe Biden, sebagai presiden baru AS, ingin mendorong penerapan pajak minimum global. Dorongan ini muncul bersamaan dengan rencana kenaikan tarif PPh badan AS. Di depan publik, Menkeu AS Janet Yellen menyerukan penghentian perang tarif (race to the bottom).

Tentu saja kesepakatan itu menjadi agenda besar yang terus dibahas secara maraton. Apalagi, implementasi dari kedua pilar ditargetkan mulai 2023. Artinya, isu besar perpajakan internasional tersebut sudah pasti akan menjadi menu utama yang dibahas tahun ini, saat Indonesia memegang tongkat estafet Presidensi G-20.

Dalam laporannya dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 di Indonesia pada Februari 2022, Sekjen Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Mathias Cormann mengatakan pembahasan solusi 2 pilar masih berada di jalur yang tepat sesuai dengan jadwal Detailed Implementation Plan.

“Namun, tugas ini berat dan kami membutuhkan dukungan politik Anda dan mengarahkan untuk memastikan bahwa kemajuan dibuat pada waktu yang tepat. Sejumlah masalah teknis juga menimbulkan tantangan politik, seperti penghapusan pajak berganda,” ujarnya, dikutip dari dokumen laporan tersebut.

Mathias mengatakan IF telah meluncurkan konsultasi publik untuk memastikan masukan dari semua pemangku kepentingan dan pelaku bisnis. Menurut dia, masukan diperlukan agar aturan terbentuk dengan cara terbaik untuk mengelola biaya kepatuhan (cost of compliance) dan memberikan kepastian.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan isu perpajakan internasional menjadi salah satu isu penting yang dibahas dalam 1st Finance Minister and Central Bank Governor (FMCBG) Meeting pada 17-18 Februari 2022. Menurutnya, terdapat banyak kemajuan dalam pembahasan mengenai perpajakan internasional, termasuk solusi 2 pilar, pada pertemuan tersebut.

Proposal Pilar 1: Unified Approach telah diusulkan sebagai solusi untuk menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks adanya digitalisasi ekonomi karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik. Pilar 2: Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE) akan mengurangi kompetisi pajak serta melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global.

“[Isu] ini yang sangat-sangat penting dan banyak kemajuan, yaitu mengenai international taxation. Pilar 1 dan 2 bisa disepakati dan dijalankan sebagai suatu kebijakan yang efektif pada tahun 2023,” ujar Sri Mulyani.

Dalam laporan OECD kepada menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 disebutkan pada Pilar 1, negosiasi sudah dimulai untuk menyetujui Konvensi Multilateral Pilar 1 (MLC). Rencananya, penandatanganan MLC akan dilakukan pada pertengahan 2022. Instrumen ini menjadi krusial agar implementasi Pilar 1 efektif dan konsisten.

Sementara pada Pilar 2, kelompok kerja teknis tengah menyelesaikan Commentary on the GloBE rules untuk memberikan otoritas dan wajib pajak sebuah panduan interpretasi dan penerapan aturan. Kemudian, draf ketentuan model untuk subject to tax rule (STTR) akan dirilis pada Maret 2022. Simak ulasan tentang Pilar 1 dan 2 dalam Fokus Selangkah Lagi Mencapai Konsensus Global Pajak Digital.

Agenda Lain

SELAIN pembahasan mengenai konsensus global solusi 2 pilar, Presidensi G-20 Indonesia akan menyuguhkan beberapa agenda penting lainnya terkait dengan perpajakan internasional. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan bersama (communiqué) yang telah disampaikan sebagai hasil dari pertemuan pertama FMCBG G-20.

Salah satu agenda itu mengenai transparansi pajak. Dalam communiqué tersebut, G-20 menyatakan dukungannya atas kemajuan penerapan standar transparansi pajak yang disepakati secara internasional. Pada akhir 2022, Global Forum akan menyelesaikan peer review pertama tentang efektivitas penerapan standar automatic exchange of financial account information (AEOI).

Berdasarkan laporan OECD, tinjauan yang dilakukan hingga saat ini menunjukkan sebagian besar dari 100 yurisdiksi yang berkomitmen untuk memulai AEOI pada 2017 atau 2018 telah menerapkan standar secara efektif. Kemajuan lebih lanjut yang signifikan diharapkan terjadi beberapa bulan mendatang. Pada 2024, sebanyak 120 yurisdiksi diharapkan bertukar informasi di bawah AEOI.

Global Forum juga telah menyesuaikan aktivitas terkait pertukaran informasi berdasarkan permintaan (exchange of information on request/EOIR) selama pandemi Covid-19. Tinjauan sejawat (peer reviews) terus berlanjut meskipun kunjungan tidak memungkinkan berjalan. Untuk pertama kalinya, pada 2021, 66 dari 163 anggota Global Forum memberi feedback tentang pengalaman impelementasi EOIR.

Global Forum juga meluncurkan inisiatif baru, salah satunya The Asia Initiative yang dibentuk pada November 2021 dengan dukungan Asian Development Bank (ADB) dan Asia Pacific Tax Hub. Pertemuan pertama telah digelar secara hybrid di Indonesia pada 16 Februari 2022. Acara dihadiri pimpinan otoritas pajak dari 18 yuridiksi di wilayah Asia bersama perwakilan lembaga internasional.

Masih terkait dengan transparansi pajak, menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 juga meminta OECD untuk segera menyelesaikan pekerjaan kerangka kerja untuk pertukaran informasi otomatis tentang aset kripto. Bagaimanapun, sejak G20/OECD Common Reporting Standard (CRS) tentang AEOI diadopsi pada 2014, dunia telah bergerak dan aset virtual berkembang lebih luas.

Saat ini, OECD tengah merancang pelaporan pajak dan kerangka kerja pertukaran yang akan secara memadai menangani risiko kepatuhan pajak terkait dengan munculnya aset kripto. Paket transparansi pajak baru, yang terdiri dari kerangka pelaporan aset kripto baru dan usulan revisi CRS, akan segera dirilis untuk meminta masukan publik.

Agenda pembahasan selanjutnya terkait dengan kebijakan pajak dan kesetaraan gender. G-20 juga menerima laporan IF bertajuk Tax Policy and Gender Equality: A Stocktake of Country Approaches. Pasalnya, kesetaraan gender menjadi pertimbangan penting dalam desain kebijakan pajak di sebagian besar negara.

Sekitar setengah dari 43 negara yang disurvei telah menerapkan reformasi pajak khusus untuk meningkatkan kesetaraan gender. Reformasi paling umum dalam pajak penghasilan orang pribadi. Pemerintah dapat menghapus bias terbuka dan mempertimbangkan kembali pengaturan pajak yang saat ini menghasilkan bias gender implisit.

Negara Berkembang

MELALUI communiqué, menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 juga menyoroti kepentingan negara berkembang. Presidensi G-20 Indonesia akan membahas agenda mobilisasi sumber daya domestik negara berkembang. G-20 menyatakan dukungan melalui bantuan teknis dan peningkatan kapasitas. Hal ini akan dibahas dalam G-20 Ministerial Symposium.

Bantuan teknis itu diberikan termasuk untuk implementasi solusi 2 pilar atas tantangan pajak akibat digitalisasi ekonomi. Pasalnya, banyak negara yang membutuhkan bantuan teknis dalam merancang legislasi untuk menjalankan kedua pilar. Kapasitas dari otoritas pajak juga perlu ditingkatkan. Apalagi, target implementasi pada 2023 dinilai cukup ambisius.

“Disepakati akan adanya dukungan untuk penambahan atau peningkatan kapasitas bagi negara-negara berkembang yang membutuhkan bantuan untuk mengimplementasikan 2 pilar itu sesuai dengan kesepakatan waktu yang disebut sangat ambisius, yaitu tahun 2023,” jelas Sri Mulyani.

Terkait dengan regulasi di Indonesia, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama mengatakan UU HPP sudah memiliki pasal yang mengantisipasi implementasi Pilar 1 dan Pilar 2. Nantinya, Indonesia akan menyiapkan peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri keuangan (PMK) untuk mendukung pelaksanaan solusi 2 pilar tersebut.

"Roadmap kita sudah disiapkan, tinggal diimplementasikan dalam bentuk PP sebagai basis dan PMK serta untuk Pilar 2 akan ada perubahan peraturan presiden (Perpres) terkait P3B kita," ujar Mekar.

OECD sendiri telah meluncurkan laporan bertajuk Developing Countries and the OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS. Laporan tersebut mengusulkan gagasan yang akan memastikan semua anggota koalisi negara-negara IF maju bersama. OECD sekarang sedang mempersiapkan peta jalan (roadmap) yang akan dibahas tahun ini.

Peta jalan itu untuk melacak kemajuan yang dibuat negara-negara berkembang dalam reformasi pajak internasional. Roadmap tersebut juga akan membahas prioritas lebih lanjut yang diidentifikasi negara berkembang, termasuk dampak insentif pajak untuk investasi sebagai akibat dari implementasi paket pajak internasional.

Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji berpendapat sebagai pemegang Presidensi G-20, Indonesia dapat memainkan peran strategis dengan membawa isu riil negara berkembang dan negara pasar. Isu yang dibawa tidak hanya tentang asistensi terhadap teknis implementasi, tetapi juga roh dari kebijakan.

Salah satu yang dia soroti adalah menyangkut pajak minimum global. Skema ini memang menjadi terobosan signifikan dalam melindungi basis pajak. Tekanan untuk terlibat dalam kompetisi pajak – yang selalu dikaitkan dengan daya saing – akan berkurang. Skema ini juga akan mereduksi peran tax haven serta mengurangi insentif untuk praktik base erosion and profit shifting (BEPS).

Namun, pajak minimum global, khususnya skema income inclusion rule (IIR) akan cenderung mengamankan kepentingan negara domisili perusahaan multinasional. Jika suatu perusahaan multinasional di suatu yurisdiksi dipajaki dengan tarif pajak efektif kurang dari 15%, yurisdiksi induk perusahaan dapat mengenakan top-up tax hingga mencapai 15%.

“Nah, menariknya mayoritas perusahaan multinasional berasal dari capital exporting countries. Skema pajak minimum global, terlepas dari gagasannya yang ideal, bisa jadi menyiratkan kepentingan hegemoni ekonomi dari negara maju,” jelasnya.

Bawono mengatakan ada kemungkinan penarikan basis pajak ke negara maju tidak terbatas pada basis pajak yang selama ini secara artifisial diparkir di negara tax haven. Ada risiko penarikan basis pajak dari kegiatan ekonomi substansif yang dilakukan di negara-negara berkembang.

Pada akhirnya, sebagai pemegang Presidensi G-20, Indonesia berpeluang meningkatkan peran dalam pembentukan arsitektur perpajakan internasional yang bersejarah. Ibarat musik, tahun ini adalah saatnya Indonesia memimpin orkestrasi pembahasan agenda penting perpajakan internasional. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.