Menteri Keuangan Sri Mulyani.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menyampaikan sejumlah tanggapan terhadap pandangan fraksi DPR mengenai RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN (P2-APBN) 2021.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan APBN 2021 masih memainkan peran sebagai countercyclical untuk menangani pandemi sekaligus melindungi ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan APBN 2021 juga masih sangat dipengaruhi pandemi.
"APBN Tahun 2021 menjadi instrumen yang sangat vital dan penting serta menentukan," katanya dalam rapat paripurna DPR, Selasa (23/8/2022).
Sri Mulyani mengatakan pemerintah menjadikan APBN 2021 sebagai instrumen untuk pengadaan vaksin dan mendanai program vaksinasi secara masif, memberikan bantalan sosial, menanggung seluruh biaya kesehatan masyarakat yang terkena pandemi, serta memberikan bantuan kepada pelaku ekonomi terutama kelompok usaha kecil dan menengah.
Di sisi lain, pemerintah juga gunakan APBN 2021 untuk mendorong pemulihan ekonomi meskipun masih dihadapkan pada tantangan pandemi yang belum berujung. Dalam hal ini, berbagai insentif bagi dunia usaha, termasuk perpajakan, diberikan untuk memberikan ruang dunia usaha kembali pulih.
Kemudian, Sri Mulyani membeberkan alasan realisasi asumsi ekonomi makro yang belum sesuai dengan asumsi pada APBN 2021, antara lain menyangkut pertumbuhan inflasi, rasio gini. Misalnya soal pertumbuhan ekonomi yang realisasinya sebesar 3,69%, dia menilai angka itu tetap menjadi sebuah pencapaian penting dalam tonggak pemulihan ekonomi nasional.
Menurutnya, angka pertumbuhan 3,69% tidak mencerminkan kinerja yang merata sepanjang tahun, karena kuartal I/2021 masih terjadi kontraksi, kuartal II/2022 melonjak, dan kuartal III/2021 kembali merosot karena penyebaran Covid-19 varian Delta.
"Itu adalah pertumbuhan ekonomi yang menggambarkan ketidakpastian dalam era pandemi Covid yang masih berfluktuasi sepanjang tahun 2021, terutama dengan dilaksanakan kebijakan PPKM darurat pada saat meredam lonjakan kasus Covid varian Delta di triwulan III/2021," ujarnya.
Mengenai pandangan soal realisasi perpajakan pada 2021, Sri Mulyani lantas menjelaskan kondisinya sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi global dan nasional, dinamika harga komoditas, serta kebijakan perpajakan pemerintah. Pada 2020, rasio perpajakan mengalami penurunan akibat melemahnya ekonomi serta dilakukannya pembatasan sosial, tetapi pada 2021 sudah menunjukkan perbaikan.
Rasio perpajakan pada 2021 telah meningkat menjadi 9,11% terhadap PDB, seiring dengan terjadinya pemulihan ekonomi nasional. Menurutnya, angka itu merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan 2020 yang hanya sebesar 8,33% PDB.
Selain itu, tax buoyancy pada 2021 yang mencapai 2,24 didorong oleh pemulihan ekonomi nasional dan dampak kenaikan harga komoditas seperti CPO, minerba, dan gas alam.
Sri Mulyani menambahkan pemerintah pada 2021 tetap melanjutkan kebijakan pemberian stimulus perpajakan dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Hal itu dilakukan sebagai upaya mendukung pemulihan ekonomi yang masih pada tahap awal dan rapuh.
Jenis insentif perpajakan yang diberikan masih relatif sama dengan 2020, tetapi cakupan sektornya menjadi lebih selektif. Pada sektor yang sudah pulih, dilakukan penurunan secara bertahap.
"Pemerintah terus mengoptimalkan reformasi perpajakan, antara lain melalui implementasi UU 7/2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan," imbuhnya. (sap)