Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mengantisipasi potensi timbulnya penolakan terhadap implementasi nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan resistensi tersebut berpotensi muncul akibat adanya kesalahpahaman masyarakat atas kebijakan tersebut.
"Ada anggapan di masyarakat bahwa dengan berlakunya NIK sebagai NPWP, maka bayi yang baru saja lahir langsung wajib membayar pajak," ujar Neilmaldrin, Selasa (23/8/2022).
Anggapan tersebut tidak tepat karena meski NIK sekarang berlaku sebagai NPWP, kewajiban perpajakan baru muncul ketika syarat subjektif dan syarat objektif sebagai wajib pajak telah terpenuhi.
Kedua persyaratan tersebut terpenuhi bila WNI bertempat tinggal lebih dari 183 hari dalam 12 bulan telah menerima penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dalam 1 tahun.
"Risiko tersebutlah yang DJP coba mitigasi agar kebijakan ini dapat diterima dengan baik di masyarakat," ujar Neilmaldrin.
Untuk diketahui, ketentuan mengenai penggunaan NIK sebagai NPWP telah tercantum dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dengan terbitnya PMK 112/2022, NIK resmi digunakan sebagai NPWP bagi wajib pajak orang pribadi penduduk sejak 14 Juli 2022.
Penduduk adalah warga negara Indonesia (WNI) dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Hingga 31 Desember 2023, baik NIK maupun NPWP format 15 digit sama-sama dapat digunakan untuk keperluan administrasi pajak. Mulai 1 Januari 2024, NIK secara resmi menjadi satu-satunya sarana yang digunakan wajib pajak untuk keperluan administrasi pajak. (sap)