Ketua Civil 20 (C20) Indonesia Sugeng Bahagijo (keempat kiri) bersama Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (kelima kiri) dan delegasi mengikuti sesi foto saat pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Civil 20 (C20) Summit 2022 di Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu (5/10/2022). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/aww.
JAKARTA, DDTCNews - Civil-20 (C-20), wadah organisasi masyarakat sipil negara-negara G-20, meminta kepada seluruh negara G-20 untuk mendorong pembentukan UN Tax Convention dan pendirian badan pajak internasional khusus di bawah naungan PBB atau UN Tax Body.
Dalam policy pack yang telah disampaikan kepada G-20, C-20 berpandangan pembentukan UN Tax Convention dan UN Tax Body diperlukan sebagai wadah untuk membahas reformasi sistem perpajakan global.
"Inisiatif G-20/OECD masih belum mampu mengakomodasi tuntutan negara-negara berkembang dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, inklusif, dan demokratis," tulis C-20 dalam Policy Pack 2022, dikutip Senin (10/10/2022).
Proposal Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) yang diusung OECD memang memberikan hak pemajakan yang lebih besar kepada negara berkembang.
Meski demikian, pemberlakuan Pilar 1 dan Pilar 2 justru dibatasi akibat beragam threshold dalam kedua pilar tersebut. Akibatnya, potensi tambahan penerimaan pajak bagi negara berkembang dari Pilar 1 dan Pilar 2 tergolong minim.
Agar kepentingan negara berkembang terakomodasi secara penuh, inisiatif-inisiatif perpajakan internasional seharusnya dibahas secara lebih demokratis dan inklusif melalui badan yang berada di bawah naungan PBB, bukan G-20/OECD.
Ke depan, agenda-agenda perpajakan internasional seperti pengarusutamaan gender dalam kebijakan pajak dan perancangan kerangka perpajakan global untuk mengatasi krisis iklim harus dibahas dan diadopsi melalui mekanisme PBB, bukan melalui Inclusive Framework yang diinisiasi oleh G-20/OECD.
Untuk diketahui, sebelumnya pembentukan UN Tax Convention telah mendapatkan dukungan dari Sekjen PBB Antonio Guterres.
Menurutnya, UN Tax Convention diperlukan untuk memfasilitasi kerja perpajakan antaryurisdiksi. Suatu badan khusus perlu didirikan guna menyelesaikan masalah pengelakan pajak dan aliran dana gelap yang menggerogoti potensi pajak bagi negara berkembang.
"Diperlukan kepemimpinan politik guna menciptakan sistem hukum, norma, dan standar yang berlaku secara universal serta konsisten dengan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB," tulis Guterres dalam laporan Setjen PBB bertajuk International Coordination and Cooperation to Combat Illicit Financial Flows.
Memang, saat ini sudah ada inisiatif multilateral yang diinisiasi oleh OECD guna mengatasi masalah pengelakan pajak. Inisiatif yang dimaksud salah satunya adalah automatic exchange of information (AEOI).
Namun, hingga saat ini inisiatif-inisiatif kerja sama perpajakan OECD masih belum sepenuhnya inklusif. Hanya ada 46 negara yang mendapatkan manfaat dari kerja sama pertukaran data perpajakan antaryurisdiksi melalui AEOI. (sap)