Kepala Subdirektorat Kerjasama dan Kemitraan Direktorat P2Humas DJP Natalius (kiri).
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) terus mendorong perusahaan untuk segera melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) sehingga dapat merasakan manfaatnya dari aspek perpajakan.
Kepala Subdirektorat Kerjasama dan Kemitraan Direktorat P2Humas DJP Natalius mengatakan sejumlah keuntungan dari aspek perpajakan diberikan untuk mendorong perusahaan melantai di bursa saham. Dia berharap langkah tersebut juga dapat mempercepat pemulihan ekonomi.
"Selain budgeter, kami juga memiliki fungsi sebagai regulerend, yang artinya dalam posisi ini DJP memberikan pengaturan termasuk insentif kepada perekonomian," katanya, dikutip pada Jumat (14/10/2022).
Natalius menuturkan pemerintah telah memiliki berbagai ketentuan perpajakan yang mendorong perusahaan melakukan IPO. Baru-baru ini, pemerintah dan DPR mengesahkan UU 7/2021 yang di dalamnya memuat insentif bagi perusahaan IPO.
Insentif tersebut antara lain tarif PPh badan untuk perusahaan IPO sebesar 18%, atau lebih rendah dari tarif normal 22%. Tarif tersebut diberikan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan seperti menyetorkan saham untuk diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40%.
Ada juga insentif berupa tarif PPh final 0,1% atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak dalam negeri atas penjualan saham. Ketentuan ini menjadi menarik karena saham perusahaan yang tidak listing di BEI akan dikenakan pajak progresif sesuai dengan Pasal 17 UU PPh dan dihitung berdasarkan nilai neto.
Selanjutnya, perusahaan memiliki fleksibilitas dalam angsuran PPh Pasal 25. Pada wajib pajak yang masuk bursa, angsuran PPh Pasal 25 didasarkan pada laporan keuangan yang disampaikan setiap 3 bulan kepada bursa dan/atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Laporan tersebut terdiri atas laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi sejak awal tahun pajak sampai dengan periode yang dilaporkan. Oleh karena itu, penetapan angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayarkan menjadi lebih riil atau sesuai dengan kondisi keuangan perusahaan pada saat pembayaran.
Untuk perusahaan yang tidak listing di bursa, angsuran PPh Pasal 25 yang dibayarkan perusahaan setiap bulan dihitung menurut SPT PPh tahun sebelumnya dikurangi dengan PPh yang dipotong dan/atau pungut dan PPh luar negeri dibagi 12.
"Apabila dalam perjalanan tahun tersebut perusahaan mengalami dinamisasi, baik penurunan laba atau mungkin kenaikan laba, yang akan berakibat kepada cash flow perusahaan, tentu akan berdampak yang kurang baik bagi perusahaan," ujarnya.
Terakhir, Natalius menyebut ada ketentuan dividen dari perusahaan go public yang diterima orang pribadi dikecualikan dari objek PPh. Syaratnya, dividen tersebut harus diinvestasikan kembali selama 3 tahun dalam instrumen investasi yang telah ditentukan oleh pemerintah. Simak juga, Dividen Dikecualikan dari Objek PPh, DJP: Harus Dilaporkan dalam SPT.
Sementara itu, Kepala Divisi Layanan dan Pengembangan Perusahaan Tercatat BEI Saptono Adi Junarso menyebut manfaat penting yang diperoleh perusahaan go public, yaitu soal kemudahan memperoleh pendanaan.
Selain itu, sambungnya, masih terdapat beberapa manfaat lain yang diperoleh perusahaan, yaitu dapat meningkatkan nilai perusahaan, menciptakan kemandirian perusahaan, dan mendapatkan mitra usaha strategis.
"Keuntungan dan manfaat go public sangat banyak, yang utama pasti pendanaan. Tetapi pendanaan bukan satu-satunya manfaat," ujar Saptono. (rig)