Wakil Ketua Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Titi Muswati Putranti.Ā
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah perlu menyiapkan ketentuan terkait dengan earmarking atas pendapatan yang bersumber dari pajak karbon.
Wakil Ketua Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Titi Muswati Putranti mengatakan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan hanya menyebut penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.
"Ini ada kata-kata 'dapat'. Kalau di dunia akademisi ini diperdebatkan. Tujuan sebetulnya pajak karbon ialah mengatasi perubahan iklim sehingga tidak bisa dijadikan untuk penerimaan yang umum," katanya, Senin (12/12/2022).
Dalam Seminar Nasional Tax Outlook 2023 yang digelar PERTAPSI, Titi menyebut pengalokasian penerimaan pajak karbon untuk mendanai belanja-belanja mitigasi perubahan iklim sudah menjadi best practice di negara-negara lain.
Terlebih, pajak karbon dinilai sebagai penerimaan yang revenue neutral. Artinya, pajak karbon perlu dikembalikan ke masyarakat lewat subsidi atas pengembangan teknologi ramah lingkungan, perbaikan atas infrastruktur yang terdampak perubahan iklim, dan lain-lain.
"Memang di dalam undang-undang itu juga dikatakan bahwa penerimaan pajak dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. Masalahnya, bagaimana nomenklaturnya, anggaran di DJA, bagaimana dimasukkan hal ini," ujar Titi.
Sebagai informasi, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengatur pengenaan pajak karbon Indonesia. Tarif yang ditetapkan pada UU HPP adalah senilai Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Dalam tahap awal, pajak karbon bakal dikenakan pada PLTU batubara. Jenis pajak ini semula bakal diterapkan mulai 1 April 2022, tetapi batal dilaksanakan. Simak 'Pajak Karbon Ditunda Hingga 2025, Begini Penjelasan Airlangga' (rig)