Partner of Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji.
JAKARTA, DDTCNews – Terdapat beberapa agenda pajak yang harus diselesaikan pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya pada tahun depan karena dapat menentukan langkah optimalisasi penerimaan pajak pada 2024.
Partner of Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan secara umum tahun 2023 merupakan tahun ‘bergegas’ bagi pemangku kepentingan di bidang perpajakan lantaran terdapat beberapa agenda pajak yang harus dirampungkan pada 2023.
“Contohnya ialah penggunaan NIK sebagai NPWP yang akan diimplementasikan secara penuh pada 1 Januari 2024,” katanya dalam webinar nasional bertajuk Tax Outlook 2023 yang diselenggarakan oleh Tax Center STIE YKPN, Jumat (23/12/2022).
Sama halnya dengan penggunaan NIK sebagai NPWP, lanjut Bawono, coretax administration system sebagai upaya meningkatkan pelayanan dan kepatuhan wajib pajak juga harus diselesaikan pada tahun ini lantaran akan mulai diimplementasikan pada 2024.
Tak hanya itu, tenggat waktu pada 2023 juga berlaku untuk kebijakan pajak daerah. Saat ini, tiap-tiap pemerintah daerah harus merancang peraturan daerah baru perihal pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan UU No. 1/2022 paling lambat 5 Januari 2024.
“Jadi tahun depan adalah tahun yang sibuk bagi stakeholder pajak. Bukan hanya dari sisi pemerintah, tetapi juga akademisi, peneliti, konsultan, hingga wajib pajak secara umum yang mau tidak mau harus ikut mempelajarinya,” tutur Bawono.
Dalam mengamankan penerimaan pajak 2023, pemerintah telah menyusun 4 strategi utama yang akan dilakukan. Pertama, optimalisasi perluasan basis pemajakan, yaitu berupa tindak lanjut program pengungkapan sukarela dan implementasi NIK sebagai NPWP.
Kedua, penguatan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan. Salah satu kegiatannya ialah menyusun prioritas pengawasan atas wajib pajak high wealth individual, wajib pajak grup, dan ekonomi digital.
Terkait dengan wajib pajak grup, Bawono menyatakan terdapat rezim baru terkait dengan ketentuan antipenghindaran pajak. Menurutnya, ketentuan baru yang berdampak terhadap wajib pajak grup itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55/2022.
“Di dalamnya (PP 55/2022), sampai ada penerapan substance over form atas skema yang dianggap penghindaran pajak,” ujarnya.
Ketiga, percepatan reformasi bidang SDM, organisasi, proses bisnis dan regulasi, seperti persiapan implementasi coretax system, perluasan kanal pembayaran pajak, penegakan hukum yang berkeadilan, dan pemanfaatan kegiatan digital forensik.
Terkait dengan coretax system, Bawono memandang langkah DJP mendigitalisasi proses bisnisnya, terutama mengenai compliance risk management (CRM), turut berdampak terhadap profesi konsultan pajak.
Dia menilai digitalisasi tersebut justru membuka peluang-peluang baru bagi konsultan pajak. Contoh, konsultan pajak dapat memberikan jasa untuk memetakan dan memitigasi risiko wajib pajak di mata otoritas pajak melalui tax control framework.
“Jadi hal-hal inilah yang dapat menjadi peluang bagi konsultan pajak ketika CRM diimplementasikan di Indonesia,” katanya.
Keempat, insentif fiskal yang terarah dan terukur untuk mendorong sektor tertentu dan memberikan kemudahan investasi.
Di sisi lain, Bawono menyoroti pentingnya kehadiran tax ombudsman dalam menjaga hak-hak wajib pajak. Menurutnya, tax ombudsman menjadi salah satu kunci dalam menjaga trust wajib pajak kepada pemerintah.
“Reformasi pajak ini bukan semata-mata soal penerimaan pajak, tetapi juga untuk mendorong budaya kepatuhan sukarela. Nah, kuncinya adalah trust kepada otoritas atau pemerintah. Harapannya dengan trust yang tinggi, penerimaan pajak akan lebih sustain,” tuturnya.
Bawono juga memandang peran tax ombudsman atau Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak) saat ini makin penting di tengah reformasi pajak. Sebab, reformasi umumnya disertai dengan perubahan lanskap pajak secara cepat sehingga suara wajib pajak perlu diwadahi. (rig)