JAKARTA, DDTCNews – Mahkamah Konstitusi (MK) sore ini menggelar sidang perdana uji materi atau judicial review atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak terhadap UUD Tahun 1945.
Pada sidang tersebut, Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi l Dewa Gede Palguna, Anwar Usman dan Aswanto tersebut memberikan saran perbaikan. Palguna meminta agar pemohon memperbaiki kedudukan hukum permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU MK.
“Ada perbedaan kedudukan hukum untuk pemohon perseorangan dengan LSM. Jadi, ini harus diperbaiki. Para pengacara ini sudah tahu ya, kalau kedudukan hukum tidak jelas bisa (diputus) NO (niet ontvankelijk verklaard),” ujarnya di Gedung MK, Jakarta, Rabu (24/8).
Aswanto pun turut menegaskan bahwa pemohon perseorangan yang masih sebagai pelajar harus dijelaskan terlebih dulu kedudukan hukumnya.
“Bagaimana pemohon akan membuktikan kedudukan hukumnya sebagai pelajar yang terlanggar hak konstitusionalnya akibat UU Pengampunan Pajak? Apa dengan NPWP? Ini perlu diperhatikan,” jelasnya.
Terkait perbaikan permohonan ini, Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada para pemohon judicial review untuk melakukan beberapa perbaikan yang perlu diperhatikan.
Tiga Perkara Sidang
Sebagai informasi, sidang pemeriksaan perdana ini meliputi tiga perkara dengan nomor registrasi 57IPUU-XIV/2016, 58/PUU-XlV/2016 dan 59/PUU-XIV/2016.
Perkara 57/PUU-XlV/2016 dimohonkan oleh Serikat Perjuangan Rakyat lndonesia sebagai Pemohon l, Samsul Hidayat sebagai Pemohon ll dan Abdul Kodir Jailani sebagai Pemohon lll yang mempersoalkan ketentuan pasal 1 angka 1, pasal 1 angka 7, pasal 3 ayat (1), pasal 4, pasal 5, pasal 11 ayat (2) (3), dan (5) pasal 19 ayat (1) dan (2) pasal 21 ayat (2) pasal 22 serta pasal 23 UU Pengampunan Pajak.
Pemohon yang meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perseorangan Warga Negara Indonesia (WNI) ini menganggap ketentuan "a quo" yang bersifat diskriminatif, dengan memberi perbedaan kedudukan sebagai wajib pajak (WP) patuh pajak dengan WP tidak patuh
Hal tersebut dinilai telah merusak keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Karena memberikan keistimewaan kepada WP tidak patuh pajak mulai dari pembebasan sanksi administrasi, tidak adanya proses pemeriksaan, hingga dihapusnya sanksi pidana.
Perihal kedua, pada nomor registrasi 58/PII-XUV/2016, Yayasan Satu Keadilan menilai ada pergeseran secara filosofis. Sebelumnya perpajakan yang bersifat memaksa, kini bersifat kompromis pada sistem pengampunan pajak tersebut.
Pemaknaan kalimat pada ketentuan a quo juga turut dipermasalahkan yang mengenai "tidak dapat dilaporkan, digugat, penyelidikan, penyidikan, maupun dituntut, baik secara perdata maupun secara pidana dalam melaksanakan tugas." Kalimat itu dinilai bersifat imunitas oleh beberapa pihak tertentu.
Pihak-pihak tersebut meliputi Menteri Keuangan, Pegawai Menteri Keuangan, serta pihak lain yang turut serta melaksanaan program pengampunan pajak. Kewenangan yang tanpa pengawasan dan evaluasi dari masyarakat yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, pada nomor registrasi 59/PUU-XIV/2016 yang menjadi perihal terakhir, menilai bahwa pemberian keistimewaan atau keringanan dalam hal perpajakan berlawanan dengan ketentuan konstitusi mengenai perpajakan yang seharusnya lebih bersifat memaksa.
Namun, sifat perpajakan yang seharusnya memaksa kini melemah dengan ketentuan a quo. Bahkan sangat berpotensi menimbulkan ketidakadilan atau diskriminatif pada masyarakat, khususnya kepada pengemplang pajak.
Program pengampunan pajak yang seolah memberlakukan sanksi kepada WP tidak patuh, justru diampuni dengan hanya membayar denda yang tarifnya sangat rendah. Hingga, masyarakat berekonomi rendah pun dikenakan tarif yang sama dengan pengemplang pajak yang berekonomi tinggi. (Amu)