STATISTIK ALIRAN DANA GELAP

Menilik Illicit Financial Flows di Negara-Negara Berkembang

Redaksi DDTCNews
Kamis, 01 Oktober 2020 | 16.14 WIB
Menilik Illicit Financial Flows di Negara-Negara Berkembang

ILLICIT financial flows (IFF) merupakan perpindahan dana atau modal gelap dari satu negara ke negara lainnya. Global Financial Integrity (GFI) mendefinisikan IFF sebagai dana yang didapatkan, ditransfer, atau digunakan secara ilegal dalam lintas batas yurisdiksi.

Sumber utama dana gelap tersebut umumnya menyangkut korupsi, penggelapan pajak, atau tindakan melanggar hukum lainnya. Adapun kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai IFF mencakup banyak jenis seperti kesalahan faktur perdagangan, penyelundupan, penggelapan pajak, dan sebagainya.

Kesalahan faktur perdagangan (trade misinvoicing) terjadi ketika importir dan eksportir dengan sengaja memalsukan harga yang ditetapkan pada faktur untuk barang impor atau ekspor sebagai cara menghindari pajak dan bea/cukai, mencuci hasil tindak pidana, menghindari kontrol mata uang, ataupun menyembunyikan keuntungan di luar negeri.

Laporan yang dirilis oleh GFI pada Maret 2020 ini menganalisis IFF dengan kategorisasi negara-negara sesuai dengan sistem klasifikasi International Monetary Fund (IMF). Laporan ini tidak membahas semua bentuk IFF, tetapi hanya berfokus pada trade misinvoicing terkait IFF.

Tabel berikut menunjukkan 10 negara-negara berkembang dengan ketimpangan nilai (value gap) perdagangan bilateral terbesar yang diakibatkan oleh trade misinvoicing dari total sebanyak 135 negara.

Adapun perdagangan bilateral yang dimaksud melibatkan seluruh partner perdagangan global (Global Trading Partner) dari masing-masing negara dan merupakan rata-rata value gap dalam periode 2008-2017, bersumber dari laporan perdagangan resmi tiap-tiap negara yang diserahkan kepada United Nations (UN) Comtrade.

Hasil dari analisis GFI menunjukkan China, Rusia, dan Meksiko merupakan negara dengan rata-rata nilai value gap terbesar, yakni masing-masing mencapai US$482,4 miliar, US$92,6 miliar, dan US$81,5 miliar. Namun, apabila dilihat berdasarkan persentase dari total perdagangan, Gambia, Seychelles, dan Paraguay merupakan negara dengan value gap terbesar, yakni mencapai 46,8%, 38,3%, dan 27,1%.

Menariknya, Thailand merupakan satu-satunya negara yang value gap perdagangannya selalu berada di 10 peringkat teratas, baik dilihat dari segi nilai maupun persentasenya. Hal ini menyiratkan trade misinvoicing di Thailand sangat merugikan negara tersebut. Selain karena memiliki nilai yang fantastis, proporsinya juga cukup besar terhadap total perdagangan hingga mencapai 25,3%.

Namun, hal ini tidak serta-merta menyimpulkan negara-negara dengan proporsi terhadap total perdagangan yang relatif rendah memiliki dampak merugikan yang lebih rendah pula pada negara yang bersangkutan. Untuk mengukur hal tersebut, perlu dilihat juga nilai net value gap  dengan satuan mata uang dolar Amerika Serikat yang telah disesuaikan dengan proporsinya terhadap total perdagangan.

Kesimpulannya, diperlukan suatu mekanisme yang efisien dan efektif untuk mengatasi perilaku tersebut. Adapun rekomendasi yang dikeluarkan oleh GFI antara lain menyangkut penegakan aturan di lapangan  yang konkrit, meningkatkan fungsi administrasi yang dapat mendeteksi adanya perilaku tersebut, serta melakukan pemeriksaan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap penerimaan yang hilang. *

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.