PEMERINTAH bermaksud untuk menata ulang berbagai pengecualian pajak pertambahan nilai (PPN). Selain mewujudkan efektivitas dan netralitas sistem PPN, pembatasan pengecualian PPN tersebut berkaitan erat dengan strategi memperluas basis PPN.
Berbagai organisasi internasional telah berulang kali menekankan perlunya evaluasi atas pengecualian PPN. Salah satunya OECD (2010). Sebagai bagian dari strategi perluasan basis pajak, pengurangan pengecualian PPN akan berdampak pada pengendalian belanja perpajakan (tax expenditure/TE) di suatu negara.
Indonesia sendiri mendefinisikan TE sebagai penerimaan yang hilang atau berkurang akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system). TE umumnya hanya ditujukan pada sebagian subjek dan objek pajak dengan persyaratan tertentu. Simak Kamus Pajak ‘Apa itu Tax Expenditure?’.
Lantas, seberapa besarkah belanja perpajakan Indonesia yang berasal dari pengecualian PPN?
Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report/TER) yang secara rutin dirilis Badan Kebijakan Fiskal (BKF) bisa menjadi rujukan dan indikasi awal. Teranyar adalah TER 2019 yang dirilis akhir tahun 2020.
Dalam publikasi tersebut terdapat estimasi belanja perpajakan tiap kebijakan, jenis pajak, sektor, dan data yang bersifat rangkuman. TER 2019 juga memperbarui estimasi belanja perpajakan tahun-tahun sebelumnya.
Namun, perlu dipahami, tidak seluruh komponen belanja perpajakan dapat dihitung dalam TER 2019. Sebagai ilustrasi, dari 32 perlakuan perpajakan di area PPN dan PPnBM yang dikategorikan sebagai belanja perpajakan, hanya 27 peraturan di antaranya yang dapat diestimasi. Selain itu, derajat akurasinya juga bervariasi, yakni rendah, menengah, dan tinggi.
Estimasi dengan menggunakan metode revenue forgone. Walaupun relatif lebih mudah, metode ini bersifat statis dan tidak mempertimbangkan baik perubahan perilaku wajib pajak, ekonomi, maupun kebijakan lanjutan.
Terdapat beberapa temuan menarik mengenai estimasi belanja perpajakan yang diakibatkan pengecualian PPN. Pertama, dari 4 kelompok barang dan 17 kelompok jasa yang tidak dikenakan PPN sebagaimana tercantum dalam Pasal 4A UU PPN, tidak seluruhnya merupakan belanja perpajakan serta dapat diestimasi.
Pengecualian PPN atas beberapa barang/jasa yang dikenakan pajak di tingkat pemerintah daerah tidak dikategorikan sebagai belanja perpajakan karena tidak menimbulkan hilangnya penerimaan bagi negara.
Misalnya, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa penyediaan tempat parkir, dan sebagainya.
Selanjutnya, TER 2019 hanya dapat melakukan estimasi perhitungan atas 1 kelompok barang, yaitu barang kebutuhan pokok. Estimasi juga dapat dilakukan pada10 kelompok jasa, yaitu jasa pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan prangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa angkutan umum jasa tenaga kerja, dan jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
Kedua, dari estimasi tersebut terlihat belanja perpajakan yang berasal dari pengecualian PPN relatif besar nilainya dan memiliki kecenderungan meningkat antarwaktu. Secara berturut-turut, nilainya adalah Rp53,3 triliun (2016), Rp57,2 triliun (2017), Rp69,7 triliun (2018), dan Rp73,4 triliun (2019).
Ketiga, kontribusi revenue forgone dari pengecualian PPN juga signifikan. Jika dibandingkan dengan belanja perpajakan pos PPN dan PPnBM, kontribusinya berkisar 43% hingga 49%. Sisanya berasal dari berbagai fasilitas, threshold pengusaha kena pajak (PKP), dan sebagainya.
Sementara itu, ditinjau dari seluruh belanja perpajakan, kontribusi pengecualian PPN sekitar 28% hingga 31%. Sebagai informasi, total belanja perpajakan di Indonesia pada 2019 telah mencapai Rp257,2 triliun atau 1,62% dari produk domestik bruto (PDB).
Keempat, komposisi belanja perpajakan pengecualian PPN. Dari 11 kelompok barang/jasa yang tidak dikenakan PPN, estimasi belanja perpajakan terbesar berasal dari barang kebutuhan pokok yang senilai Rp29 triliun pada 2019. Setelahnya berasal dari jasa angkutan umum (Rp14,9 triliun), jasa pendidikan (Rp10,4 triliun), dan jasa keuangan (Rp9,1 triliun).
Agenda pemerintah untuk mengurangi pengecualian PPN pada dasarnya juga akan turut berperan dalam mengendalikan belanja perpajakan Indonesia. Terlebih, kontribusinya relatif signifikan. (kaw)