LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Tawaran Kebijakan Pajak Capres, Antara Eksistensi dan Elektabilitas

Redaksi DDTCNews
Minggu, 13 Januari 2019 | 23.43 WIB
ddtc-loaderTawaran Kebijakan Pajak Capres, Antara Eksistensi dan Elektabilitas
Muhamad Imran Hidayat,
S1 Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

PAJAK merupakan bagian dari instrumen hukum privat yang vital dan berpengaruh dalam penyelenggaran negara. Peran rakyat  dalam pajak digunakan pemerintah atau petugas terkait untuk mendanai pembangunan baik secara fisik maupun nonfisik. Untuk itu, negara tidak akan bergerak dan maju jika penerimaan nutrisi (pajak) tidak digalakkan secara dinamis. Pajak di-istiqamah-kan sebagai kontribusi wajib bagi rakyat. Negara punya andil dalam memungutnya. Kendati demikian, dilihat secara konstitusional, pajak adalah sebuah kontrak yang wajib dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keberhasilan pembangunan nasional sangat didukung oleh pembiayaan yang berasal dari masyarakat, yaitu penerimaan pajak. Agar peran ini dapat terdistribusikan dengan merata tanpa ada pembeda, perlu diciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum. Oleh karenanya, isu perpajakan menjadi salah satu aspek sentral dalam visi—misi dua pasangan kandidat pemimpin Indonesia 2019-2024. Baik Joko Widodo—Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto—Sandiaga Uno menjadikan pajak sebagai salah satu fokus pembenahan jika mendapat mandat rakyat untuk memimpin tanah air.

Bagaimanapun, masa-masa kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2019 dimanfaatkan oleh para kandidat untuk memaparkan tawaran kebijakan, termasuk yang berkaitan dengan pajak. Kedua pasangan sama-sama mengandalkan penerimaan dari sektor pajak. Menoleh sedikit ke belakang, sejak 1986, Indonesia mulai mengandalkan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara (tax state). Menurut Schumpeter (1991), tax state merupakan sistem model operasi suatu negara yang bersandar pada penerimaan dari hasil pemajakan atas suatu kegiatan ekonomi di wilayah  kekuasaannya.

Pada 1983, pascamengalami oil boom, tax ratio Indonesia sempat menyentuh angka 23%. Namun, lebih dari dua pertiga penerimaan berasal dari sektor migas. Mirisnya, Indonesia saat ini memiliki nisbah pajak yang kurang menggembirakan sehingga mencerminkan adanya kelemahan kapasitas perpajakan yang serius. Dalam satu dekade terakhir, nisbah pajak berkisar pada angka 11%-13% , masih di bawah ambang batas nisbah pajak rasional suatu negara berkembang yaitu sekitar 15%.

Pada pesta demokrasi 2019, siapapun yang akan memenangkan tampuk kekuasaan harus berupaya memilitansi pajak. Pajak merupakan sine qua non untuk mewujudkan janji-janji prinsip yang diberikan lantaran kesuksesan program di bidang apapun harus dimulai dari ketersediaan dana, terlepas juga dari supremasi hukum yang jelas dan berlaku.

Karenanya, sudah sewajarnya jika optimalisasi pajak diangkat ke tingkatan prioritas agenda politik dan publik. Sayangnya, dalam putaran debat dan kampanye, para kandidat tidak mencampur lebih detail formulasi konseptual serta langkah operasional mengenai bagaimana hal itu dapat tercapai. Dalam gagasan yang sudah dibuat, para capres-cawapres mempunyai perspektif masing-masing.

Di kubu pasangan nomor urut 1, Jokowi – Ma’ruf, setidaknya ada dua program terkait pajak, yakni pertama, melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing. Kedua, memberikan inseftif pajak bagi usaha mikro, kecil, menengah (UMKM)

Relasinya dengan misi yang berada di sektor ekonomi diantaraya menyangkut peningkatan kualitas Indonesia, ekonomi produktif, serta embangunan merata. Artinya, secara intensitas struktural, Jokowi adalah kandidat petahana (incumbent) sehingga wajar jika menawarkan kelanjutan pekerjaan yang sudah dirintis dan dikonsep sedemikian awal. Memang, di sisi lain, ada beberapa pekerjaan rumah dalam reformasi pajak yang belum terselesaikan.

Seperti diketahui, pilar pertama reformasi pajak adalah soal Sumber Daya Manusia (SDM). Kompetensi maupun integritas pegawai pajak (fiskus) memang harus dikawal. Bukan apa-apa, pajak masih menjadi lahan korupsi yang subur. Gayus Tambunan adalah contoh klasik. Nyatanya, dia bukan orang terakhir. Ini menjadi bukti bahwa revolusi mental di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum usai.

Pilar kedua adalah sirkulasi bisnis dan struktur organisasi pajak yang terjalan. DJP memiliki 33 Kantor Wilayah yang tentunya harus semakin efektif dan efisien dalam melakukan tugasnya. Bahkan, dalam hal struktur organisasi, sempat ada wacana untuk memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan melalui pembentukan Badan Penerimaan Negara. Dengan begitu, otoritas pajak memiliki keleluasaan dalam membuat kebijakan sampai pembenahan SDM. Namun, sepertinya isu ini terindikasi hilang dan belum dibahas kembali.

Pilar ketiga adalah teknologi informasi. Pada era digital seperti sekarang, keterlibatan teknologi informasi mutlak diterapkan dalam kebijakan pajak. Teknologi informasi bisa sangat membantu dalam penentuan profil wajib pajak (WP), proses pemungutan, sampai perumusan kebijakan. Bahkan, melalui teknologi informasi, WP tidak perlu bertemu muka dengan fiskus. Dengan begitu, potensi dari manipulator bisa diredam.      

Pilar terakhir adalah kekuatan hukum yaitu  perundang-undangan. Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah besar karena belum ada pembaruan dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), maupun Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). Padahal, sudah banyak perkembangan yang harus direspons melalui perubahan serangkaian UU tersebut, mulai dari pembentukan Badan Penerimaan Negara, tata cara perpajakan terhadap transaksi online, dan lain sebagainya. 

Banyaknya tugas itu membuat kubu Jokowi—Ma'ruf bertekad untuk melanjutkan reformasi pajak yang sudah dirintis 4 tahun terakhir. Alhasil, melanjutkan saja memang sudah merupakan tugas yang maha berat. Melalui reformasi pajak, kepatuhan WP diharapkan meningkat. Bagaimanapun, kepatuhan ini juga menjadi isu besar.

Sementara itu, kubu pasangan nomor urut 2, Prabowo—Sandiaga, ada beberapa tawaran kebijakan pajak. Pertama, menaikkan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dan menurunkan tarif PPh pasal (21) orang pribadi. Kedua, menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.

Ketiga, menghapus secara drastis birokrasi yang menghambat dan melakukan reformasi perpajakan agar lebih merangsang gairah berusaha dan meningkatkan daya saing terhadap negara-negara tetangga. Keempat, meningkatkan akses masyarakat terhadap buku yang murah dan terjangkau melalui kebijakan perpajakan yang menunjang. Ini dikorelasikan dengan misi mereka di sektor ekonomi yaitu adil, makmur, berkualitas, serta masyarakat yang cerdas

Hal yang menarik dalam visi—misi pasangan 2 adalah besarnya insentif pajak yang dijanjikan seperti kenaikan PTKP, penurunan tarif PPh 21, dan penghapusan PBB. Ini adalah stimulus yang cukup agresif dan dinilai berbalik arah dengan kubu pasangan nomor urut 01. Melalui ketiga janji ini, daya beli masyarakat diharapkan akan meningkat. Ini dikarenakan sebagian pendapatan yang sedianya dialokasikan untuk membayar pajak, bisa dipakai untuk menambah konsumsi.

Oleh karena itu, wajar apabila Prabowo—Sandiaga menjanjikan stimulus pajak untuk menggenjot konsumsi, investasi, dan pada akhirnya kepada pertumbuhan ekonomi. Namun, stimulus ini bukan tanpa risiko. Saat pemerintah memberikan stimulus pajak, ada sebagian penerimaan negara yang akan berkurang. Agar anggaran negara bisa berjalan, pemerintah harus menambalnya dengan tambahan utang. Ini yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Penurunan tarif pajak membuat defisit anggaran membengkak. Badan Anggaran Kongres AS memperkirakan defisit anggaran 2018 berada di level US$4,14 triliun. Pada 2019, defisit anggaran naik menjadi US$ 4,47 triliun. Prabowo—Sandiaga harus benar-benar mewanti-wanti jalannya sektor per sektor.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah retorika dan juga pernyataan visi—misi saja tidak cukup menjamin komitmen yang kuat dan berkelanjutan. Komitmen pajak harus dimulai dari ‘dapur’ sendiri. Untuk itu, pengungkapan riwayat penunaian kewajiban pajak pribadi, yakni surat pemberitahuan (SPT), dapat menjadi indikator kredibel dalam kesungguhan calon penguasa dalam bidang perpajakan.

Menengok pengalaman dan realita dimanapun, reformasi perpajakan tidak mudah. Hingga saat ini belum ada panasea. Sebagai negara yang masih berkembang, Indonesia berhadapan dengan berbagai tantangan. Tantangan yang paling utama adalah komitmen politik pemerintah sendiri. Faktanya, setiap pemerintahan di Indonesia tidak pernah sungguh-sungguh melakukan enforcement dalam menarik pajak karena dalam kondisi budaya pajak rendah dan massifnya evasi pajak (tax evasion). Hal ini bisa menimbulkan harga politik yang mahal.

Dalam perspektif komparatif jelas tergambar bahwas kubu nomor urut 1 konsisten dengan rancangan awal. Pasangan ini ingin melanjutkan pergerakan-pergerakan yang dinilai belum terlaksana dan penambahan beberapa konsep baru. Sementara, kubu oposisi berkomitmen untuk merekonstruksikan beberapa evaluasi yang dipandang belum relevan, serta memperbanyak varian tindakan.

Dengan demikian, wajar jika terjadi perbedaan dalam berkonsep dan berprinsip sesuai dengan riwayat yang dilihat dan dirasa. Pada hal eksistensi, akan muncul kecemasan publik dalam dua hal, yaitu ketidakpastian prinsip dasar yang dirancang serta perubahan yang signifikan tanpa ada musyawarah dari rakyat/perwakilan. Eksistensi disini bisa mengarah pada keberadaan dan bisa juga pada suatu kecemasan publik (filsafat hukum). Elektabilitas para calon pemimpin dilihat dari seberapa sering dan aktifnya dalam bertindak dan merangkul masyarakat sekitar.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.