Johanes Glorinus Saragih,
INDONESIA akan mengadakan pemilihan umum (pemilu) pada 2024 mendatang untuk memilih presiden, wakil presiden (wapres), dan anggota legislatif. Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak dapat dipilih kembali karena sudah menjabat selama 2 periode. Siapapun penggantinya kelak, besar kemungkinan kebijakan yang disusun akan berbeda dengan pemerintahan saat ini.
Presiden berikutnya perlu menempatkan pajak dalam skala prioritas programnya untuk pembangunan Indonesia, mengingat rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia yang masih rendah.
Pajak merupakan sumber penerimaan utama Indonesia. Namun, tax ratio terhadap penerimaan domestik bruto (PDB) pada 2021 hanya sebesar 9,5%. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata negara Asia-Pasifik sebesar 19,1% dan rasio minimum yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF) sebesar 15%.
Selama kurun waktu 2013 hingga 2019, tax ratio Indonesia terus menurun mulai dari 12,5% hingga 11,6%. Hantaman pandemi Covid-19 pada awal 2020 lalu ikut mengakselerasi penurunan tersebut. PDB yang terus meningkat tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan tax ratio menunjukkan bahwa perlu ada formula kebijakan baru yang lebih memprioritaskan aspek perpajakan.
Lantas, bagaimana cara pemerintah bisa mendongkrak tax ratio di Indonesia?
Salah satu sektor yang perlu difokuskan oleh pemerintah untuk meningkatkan tax ratio adalah sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop-UKM), kontribusi UMKM terhadap PDB adalah sebesar 60,5% dengan nilai sekitar Rp 8.573 triliun.
Ditjen Pajak (DJP) memandang sektor UMKM memainkan peran penting dalam rendahnya tax ratio di Indonesia. Hal ini disebabkan mayoritas pelaku UMKM belum bayar pajak dan DJP juga kesulitan untuk memajakinya.
Sebenarnya, berbagai upaya telah dilakukan DJP untuk meningkatkan penerimaan pajak dari UMKM. Beberapa kebijakan yang sudah dijalankan, antara lain penyederhanaan sistem self-assessment, pembayaran pajak penghasilan (PPh), dan pelaporannya, hingga penurunan tarif pajak menjadi 0,5% melalui Peraturan Pemerintah (PP) 23/2018 (sebelumnya PP 46/2013).
Kebijakan-kebijakan tersebut sejalan dengan berbagai penelitian yang menyarankan penyederhanaan sistem administrasi dan penurunan tarif pajak untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Kebijakan yang diimplementasikan berhasil meningkatkan angka kepatuhan pelaku UMKM, namun sayangnya belum signifikan. Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan strategi baru untuk meningkatkan penerimaan pajak dari UMKM. Seperti apa?
Menurut OECD, sistem administrasi yang lebih sederhana dan mudah serta edukasi pajak yang berkesinambungan mampu meningkatkan penerimaan dan kepatuhan pajak. Kemudahan dalam pelaporan dan pembayaran pajak akan memengaruhi perilaku wajib pajak, terutama pelaku UMKM.
Namun, bila kemudahan tersebut tidak diikuti dengan pengawasan terhadap wajib pajak secara optimal, penerimaan pajak dari UMKM akan tetap rendah. Kendala pengawasan terhadap UMKM adalah data pelaku UMKM yang sulit didapat dan transaksi yang dilakukan mayoritas dalam bentuk uang kas yang tidak terintegrasi ke sistem perbankan. Kondisi tersebut membuat kebenaran omzet yang dilaporkan tidak dapat diandalkan.
DJP telah melakukan terobosan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 112/2022 yang mengatur tentang penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini dapat menjadi langkah awal untuk menjaring pelaku UMKM yang selama ini belum terdaftar.
Dari segi administrasi pajak, cara terbaik untuk melacak data sektor UMKM adalah dengan memasukkan para pelakunya ke dalam sistem perpajakan. Melalui integrasi NIK-NPWP, pelaku UMKM akan lebih mudah dimasukkan ke dalam sistem perpajakan. Selain itu, semua data atas kegiatan ekonomi dan keuangan yang membutuhkan NIK akan dapat diperoleh DJP dan digunakan untuk menganalisa kepatuhan wajib pajak.
Belajar dari Benua Seberang
Setelah masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan, kebijakan yang perlu dilakukan selanjutnya adalah memperbaiki sistem pengawasan pelaku UMKM. DJP dapat meniru kebijakan yang diambil oleh Australia dalam mengumpulkan penerimaan pajak dari UMKM.
Pemerintah Australia membuat suatu aplikasi untuk pencatatan, pelaporan, dan pembayaran pajak khusus bagi UMKM. Aplikasi ini akan mencatat setiap transaksi yang dilakukan oleh pelaku UMKM sehingga omzet bulanan dapat dihitung secara otomatis. Kemudian aplikasi ini akan membuat laporan bulanan dan menghitung pajak yang harus dibayar juga. Selain itu, pemerintah Australia membatasi penggunaan uang kas melalui aturan bahwa setiap transaksi dengan nilai di atas AU$10.000 harus dilakukan melalui sistem perbankan.
DJP dapat membuat aplikasi yang serupa. Otoritas pajak perlu bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) untuk mengintegrasikannya. Sistem transaksi elektronik di Indonesia sendiri sudah cukup bagus dengan adanya Quick Response Indonesian Standard (QRIS).
Melalui aplikasi yang terintegrasi dengan sistem pembayaran QRIS dan sistem perbankan lainnya, setiap pembayaran non-kas yang masuk akan tercatat secara langsung pada aplikasi tersebut. Sementara pembayaran yang menggunakan uang kas dapat dicatat secara mandiri ke dalam aplikasi oleh wajib pajak.
Kebijakan pembatasan transaksi menggunakan uang kas seperti yang diterapkan Australia sulit untuk diterapkan di Indonesia mengingat masih banyak daerah yang belum terjangkau internet dan demografi rakyat Indonesia yang beragam. Meskipun demikian, integrasi antara aplikasi dengan sistem pembayaran dapat menjadi pilot project yang mampu meningkatkan kepatuhan pajak UMKM.
Manfaatnya bagi DJP, omzet yang dilaporkan wajib pajak dapat lebih diandalkan kebenarannya sehingga membantu pengawasan. Bagi wajib pajak, aplikasi ini memudahkan pencatatan dan pelaporan pajak.
Kebijakan berikutnya yang harus dilakukan adalah edukasi bagi masyarakat secara umum, dan pelaku UMKM secara khusus, yang berkelanjutan. Selama ini, mindset sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap pajak masih belum terbangun positif.
Masyarakat belum memandang pajak sebagai hal yang krusial dalam mendukung pembangunan. Bahkan pada tingkatan yang ekstrem, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pajak masih dianggap sebagai bagian dari kolonialisasi, bukan sebagai kewajiban seorang warga negara yang baik. Fakta ini menunjukkan bahwa edukasi terkait pajak masih kurang dan belum mampu mengubah mindset masyarakat.
Sebagai solusinya, DJP dapat bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk memasukkan kurikulum mengenai pajak sejak dini, mulai dari tingkat sekolah dasar. Pengenalan pajak sejak dini adalah salah satu metode paling efektif untuk mengubah mindset dari masyarakat meskipun akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Apabila mindset masyarakat berubah, dapat terbangun norma sosial untuk taat membayar pajak. Tentunya, pemerintahan yang baru nanti perlu menunjukkan komitmen bebas dari korupsi dan menerapkan good governance agar semua kebijakan ini dapat berhasil. (sap)
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.