Yusuf Akhmadi,
PRESIDEN dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, berkomitmen untuk meningkatkan rasio pendapatan negara menjadi 23% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2029. Angka itu melompat dari posisi saat ini. Pada 2023, pendapatan negara sekitar 13,3% terhadap PDB.
Untuk meningkatkan rasio pendapatan negara, peran penerimaan pajak – yang menjadi penopang mayoritas pendapatan negara – sangat penting. Nyatanya, tax ratio Indonesia juga masih rendah. Pada 2023, tax ratio Indonesia masih berada pada level 10,31%.
Dalam konteks Indonesia tengah menjalani proses aksesi pada Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tidak ada salahnya mulai membandingkan dengan rata-rata tax ratio negara anggota. Bagaimanapun, tax ratio Indonesia diharapkan bisa naik sehingga setara.
Berdasarkan pada hitungan OECD (2024), tax ratio Indonesia pada 2022 sebesar 12,1%. Performa tersebut masih di bawah capaian rata-rata tax ratio negara-negara OECD, yakni sebesar 34,0%. Tidak mengherankan jika peningkatan tax ratio menjadi agenda prioritas otoritas pajak.
Namun demikian, McNabb (2018) menemukan bukti empiris bahwa peningkatan pajak dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, upaya untuk menggenjot rasio pajak harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menghambat perekonomian.
Dalam konteks tersebut, selain menciptakan sumber-sumber baru penerimaan pajak, otoritas juga dapat berfokus pada penanganan kebocoran yang disebabkan oleh adanya praktik penggerusan basis pajak dan penggeseran laba (base erosion and profit shifting/BEPS).
Menurut International Monetary Fund (IMF) (2014), estimasi potensi penerimaan pajak yang hilang akibat BEPS bisa mencapai 13% dari total penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan. Dalam konteks BEPS, dampak dari digitalisasi ekonomi menjadi salah satu fenomena yang disorot.
OECD meluncurkan Pillar One Amount A untuk menangani permasalahan BEPS ekonomi digital secara multilateral. Koordinasi pada tingkat global tersebut juga dilakukan untuk meredam langkah unilateral yang tidak terkoordinasi.
Septian (2023) mencatat Indonesia memiliki kepentingan besar dalam implementasi Pillar One Amount A untuk mengamankan penerimaan pajak dari digitaliasi ekonomi. Namun, proposal ini terancam gagal karena sulit dipenuhinya syarat ratifikasi oleh 30 yurisdiksi yang mencakup 60% dari perusahaan induk yang masuk dalam cakupan Amount A (critical mass).
Fakta tersebut mendorong beberapa negara, termasuk Indonesia, untuk mempertimbangkan kembali pendekatan unilateral dalam penanganan masalah BEPS ekonomi digital. Bagaimanapun, Indonesia kehilangan penerimaan pajak yang substansial akibat praktik BEPS (Purba, 2018).
Varen (2022) mengungkapkan bahwa aset tidak berwujud (intangible) menjadi salah satu instrumen utama dalam praktik BEPS ekonomi digital. Oleh karena itu, Indonesia perlu segera mengambil langkah dengan menerbitkan aturan mengenai rezim alokasi penghasilan atas aset tidak berwujud dalam ekonomi digital. Hal ini untuk mengatasi ‘gajah di pelupuk mata’ yang selama ini terabaikan.
DALAM Public Consultation Document (2019), OECD telah mengusulkan adanya marketing intangible, yakni aset tidak berwujud yang membantu dalam kegiatan pemasaran pada suatu produk atau jasa. Hal ini menjadi salah satu solusi untuk menangani tantangan ekonomi digital.
Usulan ini menjawab permasalahan yurisdiksi pasar dalam aktivitas ekonomi digital. Perusahaan multinasional dapat masuk ke yurisdiksi pasar, baik secara digital maupun kehadiran lokal terbatas (limited local presence), dan mengembangkan aset tidak berwujud pemasaran atas pasar tersebut.
Usulan tersebut memungkinkan alokasi laba atas aset tidak berwujud pemasaran ke yurisdiksi pasar. Tidak hanya menargetkan bisnis digital, tetapi skema tersebut juga mencakup berbagai usaha yang memanfaatkan digitalisasi ekonomi.
Indonesia dapat mengadopsi pendekatan ini ke dalam rezim transfer pricing domestik. Selain itu, Indonesia bisa memperluas cakupan ke aset tidak berwujud perdagangan (trade intangible). Dengan demikian, pengaturan ini berlaku untuk seluruh aset tidak berwujud yang berkaitan dengan pasar Indonesia (local intangible).
Secara umum, pendekatan alokasi laba atas aset tidak berwujud lokal juga telah diterapkan di negara lain seperti di China dan Amerika Serikat.
Filosofi dari rezim aset tidak berwujud lokal adalah cabang dan anak perusahaan multinasional di Indonesia dapat berkontribusi dan mempunyai kepemilikan ekonomis (economic ownership) atas aset tidak berwujud lokal. Dengan demikian, cabang dan anak perusahaan itu berhak mendapatkan alokasi penghasilan yang memadai atas eksploitasi aset tersebut.
Rezim tersebut juga berlaku pada anak perusahaan multinasional yang menjalankan fungsi full fledge distributor maupun full fledge manufacturer, yang mempertahankan kerugian menahun ataupun yang memiliki laba di bawah rata-rata industri karena tergerus signifikan oleh berbagai biaya royalti dan lisensi. Kondisi ini terjadi karena entitas di Indonesia dianggap tidak memiliki maupun berkontribusi dalam penciptaan aset tidak berwujud lokal.
Rezim tersebut juga berpotensi mengatasi ‘aggresive tax audit’ atas aset tidak berwujud, yakni ketika pemeriksa pajak mengoreksi seluruh biaya yang berkaitan dengan aset tidak berwujud. Koreksi dilakukan karena biaya dianggap tidak ada atau di luar kewajaran (excessive). Alhasil, sengketa yang sebenarnya dapat dihindari justru muncul.
SECARA teknis, pemberlakuan rezim aset tidak berwujud lokal perlu menjawab tiga pertanyaan mendasar. Pertama, apakah telah ada kontribusi pengembangan atau kepemilikan ekonomis atas aset tidak berwujud lokal?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, otoritas perlu mendefinisikan aset tidak berwujud lokal dan kerangka kerja untuk mengidentifikasinya. Otoritas dapat mengadopsi pendekatan OECD Transfer Pricing Guidelines atau UN Practical Manual on Transfer Pricing mengenai kriteria aset tidak berwujud.
Kerangka kerja dalam mengidentifikasi kontribusi atas aset tidak berwujud lokal dapat didasarkan pada konsep development, enhancement, maintenance, protection, and exploitation (DEMPE) atau development, acquisition, enhancement, maintenance, protection, and exploitation (DAEMPE).
Untuk memberikan kejelasan, otoritas pajak perlu memberikan contoh kontribusi yang tergolong sebagai penciptaan aset tidak berwujud lokal. Misalnya, aktivitas pengembangan spesifikasi produk untuk menyesuaikan selera pasar ataupun pendaftaran hak intelektual dan izin edar.
Kedua, apakah penghasilan nonrutin atau residual dapat dialokasikan atas aset tidak berwujud lokal? Untuk menjawab pertanyaan ini, otoritas dapat menggunakan pendekatan kontribusi unik dan berharga (unique and valuable), sebagaimana dijelaskan dalam PMK 172/2023.
Namun demikian, dalam konteks rezim aset tidak berwujud lokal, otoritas perlu memberikan penjelasan lebih terperinci per jenis industri. Misalnya, mengenai aktivitas promosi ekstensif yang berkontribusi pada posisi produk sebagai market leader di industri fast moving consumer goods (FMCG). Misalnya lagi, pengelolaan hubungan pelanggan yang meningkatkan nilai aset tidak berwujud secara signifikan di industri jasa keuangan.
Ketiga, apa metode penentuan harga transfer yang paling sesuai? Jika kontribusi memiliki karakteristik unik dan bernilai, metode pembagian laba (profit split method) merupakan metode yang paling tepat.
Namun, mengingat kompleksitas dalam penerapan metode tersebut, otoritas dapat mempertimbangkan penerapan metode pembagian laba yang disederhanakan (simplified profit split method). Pendekatan ini juga disinggung oleh OECD Public Consultation Document (2019) dan Chand (2019), yakni pembagian laba dapat didasarkan pada pendekatan formula tertentu, misalnya persentase tertentu sesuai dengan jenis industri.
Untuk meminimalkan subjektivitas, otoritas perlu menyediakan aturan yang terperinci dan dilengkapi dengan contoh kasus yang relevan. Berbeda dengan pajak layanan digital (digital service tax), rezim aset tidak berwujud lokal dijalankan dalam kerangka PPh.
Karena dalam kerangka PPh, isu pemajakan berganda dapat diselesaikan melalui Mutual Agreement Procedure berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Adapun tentang beban administrasi yang muncul, batasan cakupan atau pengecualian dapat diterapkan. Hal ini seperti penggunaan rasio biaya tertentu, pangsa pasar (market share), ataupun metrik lainnya.
Rezim aset tidak berwujud lokal tidak memunculkan pajak baru sehingga meminimalkan efek samping peningkatan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, rezim aset tidak berwujud lokal dapat menjadi langkah strategis yang jitu untuk mengatasi BEPS ekonomi digital dan mengoptimalkan rasio pajak.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.