Anis Urba Ningrum,
PEMERINTAH dan DPR telah menyepakati target pendapatan negara dalam APBN 2025 senilai Rp3.005,1 triliun. Dari total pendapatan negara tersebut, sebanyak 82,89% atau senilai Rp2.490,9 triliun berasal dari penerimaan perpajakan. Dengan demikian, kontribusi perpajakan dalam pembangunan negara masih sangat strategis.
Tidak mengherankan jika upaya peningkatan tax ratio masih krusial. Untuk mengamankan target penerimaan perpajakan yang terus tumbuh tiap tahunnya, diperlukan penggalian sumber-sumber potensial yang baru. Namun demikian, pemajakan terhadap sumber baru ini harus tetap memperhatikan relevansi dan dampaknya terhadap aspek lain.
Salah satu sumber baru yang potensial adalah penyerahan atau impor barang yang semula dikecualikan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN). Dengan menjadi barang kena pajak (BKP) pascaberlakunya Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), ada ruang untuk mengenakan PPN, baik atas penyerahan dalam negeri maupun impor.
Namun demikian, pascaberlakunya UU HPP, barang yang semula dikecualikan dari pengenaan PPN masih diberikan fasilitas pembebasan. Artinya, meskipun sudah menjadi BKP, belum ada potensi pajak yang didapatkan pemerintah. Saat ini, ketentuan mengenai BKP yang mendapatkan fasilitas pembebasan PPN diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022.
Padahal, bila ditinjau kembali, fasilitas pembebasan PPN sudah tidak relevan lagi diberikan atas beberapa BKP. Relevansi yang dimaksud bila disandingkan dengan berbagai program lain yang sedang dan/atau akan dijalankan pemerintah. Adanya pemerintahan baru di bawah presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, nantinya harus dipakai sebagai momentum evaluasi.
Kebijakan terkait dengan pemberian fasilitas, termasuk pembebasan PPN, seharusnya diselaraskan dengan agenda pemerintah. Pada akhirnya, pemberian fasilitas tepat sasaran sehingga potensi penerimaan perpajakan tidak hilang. Menurut penulis, kebijakan pajak atas penyerahan gula dan mineral hasil tambang perlu dikaji ulang.
TERKAIT dengan gula, pemerintah dapat mempertimbangkan pengenaan PPN atas impor dan penyerahan dalam negeri. Selain itu, implementasi sugar-sweetened beverage (SSB) tax secara menyeluruh juga dapat dikaji. Menurut penulis, ada urgensi pemajakan atas gula jika dikaitkan dengan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
Mengutip informasi dalam situs web Kementerian Kesehatan, data International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan sebanyak 19,5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes pada 2021. Indonesia menduduki posisi kelima teratas sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak. Jumlah itu akan naik menjadi 28,6 juta pada 2045 jika konsumsi gula tidak dikendalikan.
Sejatinya, pemerintah telah berencana mengenakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Rencana ini juga sudah masuk saat penyusunan APBN 2025. Namun, pengendalian terhadap konsumsi gula akan lebih efektif jika memperhatikan dua aspek lainnya.
Pertama, gula termasuk dalam BKP tertentu yang bersifat strategis sehingga atas impor dan penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN berdasarkan pada PP Nomor 49 Tahun 2022. Pembebasan PPN gula tersebut menjadi tidak selaras dengan kebijakan pengenaan cukai MBDK. Cukai akan membatasi konsumsi, tetapi pembebasan PPN justru tidak mengerem konsumsi.
Kedua, barang konsumsi berpemanis dan mengandung gula tinggi pada dasarnya tidak hanya dalam bentuk minuman, tetapi juga makanan. Adapun makanan dengan kandungan gula yang tinggi misalnya permen, es krim, sweetened baked goods, dan frozen desserts.
Berdasarkan pada data World Bank, beberapa negara seperti Dominika, Hungaria, Fiji, dan Bermuda telah mengenakan SSB tax tidak hanya atas MBDK, tetapi juga atas makanan tinggi gula. Pertimbangan atas kedua aspek tersebut perlu dilakukan. Harapannya, selain akan dapat mengendalikan konsumsi gula, kebijakan itu berpotensi menambah penerimaan pajak.
TERKAIT dengan mineral hasil tambang, pemerintah perlu melakukan sinkronisasi ketentuan pengenaan PPN sebagai BKP tertentu bersifat strategis dalam PP Nomor 49 Tahun 2022 dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 69.K/MB.01/MEM.B/2024. Dalam ketentuan PP Nomor 49 Tahun 2022, mineral hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya bersifat strategis sehingga atas impor dan penyerahannya memperoleh fasilitas pembebasan PPN.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 PP Nomor 49 Tahun 2022, terdapat 44 mineral strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Sementara itu, Keputusan Menteri ESDM Nomor 69.K/MB.01/MEM.B/2024 menetapkan hanya terdapat 22 mineral hasil tambang yang dikelompokkan sebagai mineral strategis.
Contoh, asbes, batu kapur, batu apung, dan batu permata merupakan BKP yang saat ini masih memperoleh fasilitas pembebasan PPN berdasarkan pada PP tersebut. Sementara itu, berdasarkan pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 69.K/MB.01/MEM.B/2024, mineral-mineral tersebut bukan termasuk mineral bersifat strategis.
Dengan demikian, pemerintahan baru perlu untuk mempertimbangkan adanya sinkronisasi ketentuan. Selain untuk memastikan tepat sasarannya optimalisasi pemanfaatan sumber daya, sinkronisasi ketentuan ini berpotensi menambah penerimaan ke kas negara.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.