Ghina Ghaliya Quddus,
SEJAK pandemi Covid-19 melanda, kesadaran sosial masyarakat telah meningkat. Masa sulit ini membuat rakyat Indonesia belajar bersatu padu membantu satu sama lain saat dibutuhkan. Hal menggembirakan ini sudah disadari juga oleh pemerintah.
Dalam wawancara dengan The Jakarta Post, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan peningkatan kesadaran sosial yang meningkat sejak pandemi bisa menjadi modal sosial bagi pembangunan bangsa di masa depan.
Banyak kelompok masyarakat di Indonesia yang menggagas gerakan solidaritas, termasuk saya dan teman-teman. Kami membagikan beberapa bantuan, seperti sembako, uang tunai untuk bayar kontrakan, dan ponsel pintar dan kuota untuk mereka yang ekonominya terdampak pandemi.
Kedermawanan donatur dan tingginya animo berbagi informasi mereka yang membutuhkan adalah napas gerakan kolektif. Dalam kasus kelompok saya misalnya, ribuan keluarga sudah terbantu dan kami mengumpulkan lebih dari Rp500 juta lewat kitabisa.com dalam beberapa bulan saja.
Namun, bukan itu poin yang patut disorot. Lebih besar dari gerakan kolektif itu sendiri, tren naiknya kesadaran sosial masyarakat ini dapat menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk membangun narasi moral pajak sebagai kunci penerimaan pajak di bawah bayang-bayang resesi.
Pada masa sulit seperti ini, diperlukan desain strategi perpajakan yang tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan, tetapi juga mengatasi masalah sosial dan melestarikan modal sosial yang telah tumbuh.
International Monetary Funds (IMF) dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah merekomendasikan beberapa ide dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak dan memupuk solidaritas di tengah pandemi.
Beberapa di antaranya adalah menaikkan peningkatan tarif atas tax bracket kelompok penghasilan tinggi dan memonitor wajib pajak besar. Dengan demikian, ada beberapa kebijakan yang bisa dipertimbangkan guna memanfaatkan momentum tingginya modal sosial ini.
Salah satunya adalah merevisi rezim tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, termasuk untuk kelas menengah guna meningkatkan progresivitas sistem perpajakan seperti yang direkomendasikan World Bank dalam laporan berjudul Indonesia Economic Prospect yang dirilis 16 Juli 2020.
Saat ini, tarif PPh sebesar 30% dikenakan atas lapisan penghasilan kena pajak (PKP) di atas Rp500 juta. Menurut World Bank, nominal tersebut perlu diturunkan agar semakin banyak wajib pajak yang menanggung beban tarif PPh sebesar 30%.
World Bank juga merekomendasikan agar pemerintah menetapkan lapisan PKP baru di atas empat lapisan yang sudah ada. Tarif tertinggi diusulkan sebesar 35%. Kebijakan ini mungkin akan menjadi kontroversial dan beberapa mungkin khawatir tidak dapat membayarnya.
Namun, beberapa fenomena yang terjadi menunjukkan mereka yang berpenghasilan tinggi mampu membayar. Langkah ini bisa meningkatkan penerimaan pajak sekaligus memperkecil ketimpangan yang ada.
KESADARAN sosial lagi-lagi menjadi kata kunci di sini. Ada harapan yang bisa dilihat dari kontribusi mereka yang berpenghasilan tinggi dan terhindar dari dampak ekonomi akibat pandemi dalam gerakan kolektif masyarakat.
Dalam penggalangan dana saya dan teman-teman contohnya, satu akun influencer populer di YouTube menyumbang dana ratusan juta rupiah untuk program pembelian ponsel dan paket data bagi pelajar yang membutuhkan. Ada pula beberapa tokoh publik yang menyumbang puluhan juta rupiah.
Saya percaya fenomena ini terjadi di banyak gerakan. Selain itu, masyarakat kelas menengah juga berkontribusi dengan jumlah beragam. Fakta bahwa kekayaan masih terakumulasi di segelintir kalangan juga bisa menjadi penguat argumentasi.
Berdasarkan data Forbes Real Time Billionaires yang melacak naik turunnya jumlah kekayaan orang-orang terkaya di dunia secara harian berdasarkan kepemilikan saham setiap individu, setidaknya 15 konglomerat Indonesia tercatat semakin tajir di tengah pandemi Covid-19 ini.
Dari beberapa fenomena tersebut, setidaknya jalan semakin terang pengelolaan PPh orang pribadi utamanya nonkaryawan perlu dioptimalkan. Reformasi perpajakan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak melalui sistem compliance risk management (CRM) bisa mendukung upaya ini.
Saran IMF dan OECD tentang memungut lebih banyak dari mereka yang menerima keuntungan dari transaksi digital dan pergeseran dari interaksi tatap muka ke interaksi online juga perlu digarap serius oleh pemerintah.
Pengenaan PPN atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) adalah awal yang baik. Potensi penerimaannya sangat besar mengingat Indonesia adalah pasar digital yang besar. Pengawasan dan upaya menjamin kepatuhan perusahaan pemungut PPN harus segera diberlakukan.
IMF dan OECD juga menyarankan menghindari pembebasan pajak. Karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi dana pemulihan ekonomi nasional Rp356,5 triliun pada 2021, khususnya insentif pajak. Sebab, selain menghambat pencapaian target penerimaan, insentif itu belum tentu efektif.
Situasi menghabiskan lebih banyak dan mengumpulkan lebih sedikit memang sulit dihindari negara pada masa krisis ini. Namun, negara sepatutnya tidak lupa sebagian rakyat mampu menghadapi krisis dengan percaya diri, dan itulah sesuatu yang patut dimanfaatkan dengan cermat.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.