Alexander Arie S.D,
PANDEMI Covid-19 disikapi banyak negara dengan menjalankan kebijakan fiskal ekspansif, ditandai belanja dan relaksasi pajak yang masif. Padahal, kebijakan ini kurang efektif untuk negara dengan rasio utang terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) tinggi (Benmelech dan Tzur-Ilan, 2020).
Transmisi Covid-19 terjadi cukup mudah dalam aktivitas yang menggerakkan ekonomi (Barrot, Grassi, dan Sauvagnat, 2020). Hal ini berbeda dengan penyakit menular lain sehingga menyebabkan berbagai pendekatan kesehatan masyarakat yang dilakukan pasti berdampak pada sektor tersebut.Â
Pandemi ini juga tidak dapat ditangani seperti bencana alam. Ketika gempa bumi atau banjir bandang, pemulihan dapat dilakukan segera sesudah kondisi bahaya dilewati. Pada Covid-19, pemulihan harus dilakukan dalam kondisi bahaya yang bahkan masih bertambah.
Belanja yang masif menjadi bagian dari upaya pemulihan baik untuk konteks kesehatan masyarakat maupun ekonomi. Sedangkan relaksasi pemungutan pajak pada sektor yang terdampak Covid-19 menjadi bagian dari upaya menjaga kondisi ekonomi.
Dalam penanganan Covid-19, pemerintah mengubah paradigma pajak. Terlepas dari pentingnya penerimaan pajak bagi keuangan negara, fungsinya berubah dari penerimaan (budgeter) menjadi pengaturan (regulerend). Akibanya, muncul konsekuensi mengorbankan penerimaan pajak.
Salah satu kebijakan dalam pandemi ini adalah insentif pajak. Sebagai bagian dari tax expenditure, insentif ke dunia usaha ditujukan untuk mereduksi tutupnya usaha atau pemutusan hubungan kerja. Bagaimanapun, jika ada usaha yang tutup permanen, akan ada basis pajak yang berkurang.
Melalui insentif, pemerintah hendak menjaga basis pajak meski tidak ada penerimaan ke kas negara. Dana pajak diharapkan dapat digunakan untuk keberlangsungan usaha. Dengan demikian, saat terjadi pemulihan, negara masih memiliki basis untuk menggerakkan kembali sumber penerimaan.
Akan tetapi, sampai 28 September 2020, realisasi pemanfaatan insentif pajak untuk dunia usaha baru mencapai Rp27,61 triliun atau 22,9%. Terlihat ada gap antara kebijakan pemerintah dengan respons dunia usaha.
Darussalam (2020) menyebut dalam konteks Indonesia, rujukan desain insentif pajak dalam antisipasi dampak pandemi Covid-19 adalah good governance. Hal itu terkait dengan tata cara pelaporan dan pengawasan dari insentif pajak.
Hal ini sejalan dengan pendapat OECD bahwa pemberian insentif pada masa pandemi memiliki kerentanan tersendiri karena disusun dengan singkat melalui pendekatan kesehatan masyarakat seperti menjaga jarak fisik hingga membatasi pengawasan otoritas pajak.
Bukan Pemberian Kas
RENDAHNYA pemanfaatan insentif dapat ditinjau dari perspektif manajemen risiko organisasi. Pertama, fasilitas yang diberikan sifatnya bukan pemberian arus kas. Fasilitas yang ada lebih diarahkan pada realokasi aliran kas yang notabene kewenangan pemilik usaha itu sendiri.
Kedua, pemerintah berusaha memberi insentif dengan aspek kehati-hatian tinggi untuk menjaga akuntabilitas pengelolaan keuangan. Hal itu kemudian mensyaratkan pelaku usaha mengedepankan tata kelola organisasi yang baik sebelum dapat memperoleh fasilitas yang telah disediakan.
Sebagaimana disampaikan oleh Deputi Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Vitoria Simanungkalit, ada gap ketika para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) memiliki persepsi fasilitas yang ada sifatnya otomatis (Nordiansyah, 2020).
Pengajuan insentif ke Ditjen Pajak oleh sebagian pelaku usaha dianggap memiliki risiko tersendiri. Ketakutan pelaku usaha terutama UMKM memengaruhi selera risiko sehingga membuat peluang memperoleh insentif tidak dipilih dan berbagai risiko terkait dampak pandemi justru dikelola.
Persepsi melakukan pengajuan fasilitas ke DJP akan berkorelasi dengan pemberian akses data usaha yang memiliki risiko bagi pemilik usaha di masa depan tentu harus diluruskan. Perlu diingat, persepsi serupa juga sempat terjadi pada program tax amnesty.
Proses pengajuan berikut persyaratannya harus dipandang sebagai upaya pemerintah mengelola uang rakyat sebaik-baiknya. Insentif yang diberikan tanpa kontrol justru menghela risiko yang lebih besar. Di sisi lain, proses ini harus dipandang sebagai proses menuju good governance.
Jika pemerintah dan dunia usaha menjalankan proses penyediaan insentif ini dengan integritas, hasilnya win-win solution. Dunia usaha menikmati fasilitas pemerintah dan meningkatkan kualitas organisasinya, pemerintah menyebarkan manfaat insentif guna menyelamatkan ekonomi negara.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.