Indrajaya Burnama,
PANDEMI Covid-19 seolah membangunkan kita dari tidur panjang dan menyadari pentingnya keberadaan sektor lain dalam menunjang kegiatan ekonomi. Covid-19 yang awalnya hanya dipandang sebagai krisis kesehatan ternyata meluluhlantakkan sendi-sendi ekonomi global.
Banyak negara, termasuk Indonesia, menerapkan social distancing atau lockdown dengan harapan kegiatan tatap muka dapat dibatasi untuk menekan penularan virus Corona. Namun, kebijakan ini berdampak ke sektor lain seperti pariwisata, pemerintahan, pendidikan, dan sosial.
Hal yang sama juga bisa terjadi jika kita hanya mengandalkan pembangunan berkelanjutan tanpa memikirkan kelestarian lingkungan. Pada penghujung tahun lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan ada bahaya lain yang perlu diantisipasi selain Covid-19.
Bahaya yang dimaksud adalah perubahan iklim. Menurutnya, perubahan iklim telah membuat bumi rusak. Hal tersebut memicu terjadi pemanasan global, efek gas rumah kaca, peningkatan batasan air laut, dan cuaca ekstrim.
Dampak perubahan iklim sangat memengaruhi kehidupan kita sebagai manusia dan makhluk hidup lainnya. Huffington Post (2016) menyatakan cuaca panas ekstrim dapat memicu kerusakan otak dan jantung.
Jurnal Biological Conservation (2021) juga memproyeksi punahnya kenakearagaman hayati di sejumlah negara karena perubahan iklim. Tidak tanggung-tanggung, curah hujan sehari di Zhengzhou, China pada Juli lalu setara dengan hujan setahun sehingga menimbulkan banjir dahsyat.
Dalam konteks Indonesia, perubahan iklim telah menyebabkan gagal panen petani sayur di Gunung Slamet, Jawa Tengah (2016) dan petani kopi di Kepahiang, Bengkulu serta Manggarai, Nusa Tenggara Timur (2017).
Selain itu, perubahan iklim juga menyebabkan cuaca laut tidak menentu sehingga mempersulit aktivitas nelayan seperti di Bulak, Jawa Timur (2017). Baru-baru ini, Presiden Amerika Joe Biden meramalkan Jakarta akan tenggelam dalam 1 dasawarsa ke depan karena perubahan iklim.
Ironinya, mengutip Laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang didirikan World Meteorological Organization dan PBB, penyebab utama perubahan iklim adalah ulah manusia sendiri. Hal ini karena adanya industrialisasi, penggunaan bahan bakar fosil, dan perubahan fungsi lahan.
Komisi Eropa pun menyatakan hal sama. Oleh karena itulah, banyak negara di Eropa menggunakan pajak karbon sebagai instrumen fiskal untuk menjaga kelestarian lingkungan dan iklim melalui pengurangan pemanasan global.
Pemerintah Indonesia juga merespons isu perubahan iklim dan penerapan pajak karbon. Hal itu dituangkan dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sedang berada dalam tahap pembahasan antara pemerintah dan DPR.
Dalam RUU KUP dinyatakan pajak karbon akan diimplementasikan sebagai wujud realisasi komitmen pemerintah dalam Nationally Determined Contribution untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional) pada 2030.
Atas rencana penerapan pajak karbon, ada tantangan yang perlu diantisipasi agar dapat berjalan sesuai dengan harapan. Tantangan tersebut adalah turunnya daya saing produk dalam negeri terhadap produk impor sehingga berpotensi mengakibatkan capital flow ke luar negeri.
Hal tersebut lantaran belum semua negara di dunia menerapkan pajak karbon atau adanya carbon leakage. Dari total 195 negara yang diakui PBB, baru 40-an negara yang telah menerapkan pajak karbon per 1 April 2021.
Dalam RUU KUP diusulkan subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas penghasil emisi karbon, seperti industri pulp kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia.
Pengenaan pajak karbon tentu memperbesar biaya produksi dan distribusi yang mengakibatkan produk lokal kalah bersaing dengan produk impor. Akhirnya, para pelaku ekonomi akan mengalihkan usahanya ke negara lain yang tidak mengenakan pajak karbon agar berbiaya rendah. Apalagi, baru Singapura yang telah menerapkan pajak karbon di Asia Tenggara.
Namun demikian, tantangan tersebut akan tereduksi dengan sendirinya karena ada wacana penerapan pajak karbon lintas yurisdiksi (Carbon Border Adjustment Mechanism) di Uni Eropa dan Amerika mulai 2026.
Rencana itu menghendaki adanya rekam jejak emisi atas berbagai produk impor yang memiliki risiko emisi karbon tinggi seperti besi baja, pupuk, alumunium, semen, dan listrik. Jadi, rencana implementasi pajak karbon dalam RUU KUP sebenarnya sejalan dengan tuntutan global.
Meskipun penerapan pajak karbon lintas yurisdiksi masih wacana, hal itu sepertinya perlu mendapat perhatian serius. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 diketahui nilai ekspor nasional ke Uni Eropa dan Amerika mencapai US$35 miliar (23% dari total ekspor).
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan masa transisi penerapan pajak karbon lintas yurisdiksi di Uni Eropa dan Amerika pada 2023 – 2025, rencana penerapan pajak karbon nasional pada tahun depan menjadi kebijakan yang sangat tepat.
Bertahap
BERDASARKAN pada kondisi di atas, penulis ingin memberikan masukan agar pajak karbon dapat berjalan sesuai harapan. Pertama, pemerintah perlu menerapkan tarif bertahap. Misalnya, pemerintah mulai mengenakan tarif pajak karbon Rp75.000 per ton emisi CO2 dan menaikkannya menjadi Rp150.000 pada 2023.
Praktik penerapan secara bertahap tersebut seperti yang dilakukan di Kanada. Negera tersebut menerapkan tarif pajak karbon senilai US$15 pada tahun ini dan menaikkannya menjadi US$38 pada tahun depan.
Kedua, pemerintah perlu memerinci objek dan sektor yang dikenakan pajak karbon (subjek pajak) untuk memberikan kepastian hukum. Sebagai contoh, Jepang dan Singapura mengenakan pajak karbon atas seluruh pemakaian bahan bakar fosil.
Sementara itu, Kolombia hanya mengenakan pajak karbon atas bahan bakar cair dan gas dengan pengecualian pada konsumsi gas alam di sektor petrokimia dan kilang minyak. Beberapa pengecualian juga diberikan di Jepang dan Singapura (World Bank, 2021).
Selain itu, perlu ada penambahan subjek pajak mengingat ada sektor lain yang berperan menyumbang emisi karbon secara signifikan. Sektor itu adalah perkebunan kelapa sawit.
Doni Monardo, saat menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, menyatakan 99% kebakaran hutan dan lahan pada 2019 terjadi karena ulah manusia. Sekitar 80% dari hutan dan lahan yang terbakar berakhir menjadi kebun yang hasilnya dinikmati segelintir orang.
Berlombanya tiap negara melakukan pembangunan ibarat pisau bermata dua. Satu sisi dapat mendatangkan kemakmuran bagi mayoritas warganya. Akan tetapi, di sisi lain, dapat memompa pemakaian energi sehingga memperbanyak jumlah emisi dan menggerus sumber daya alam yang jumlahnya terbatas.
Ujung dari aktivitas itu adalah munculnya akibat berupa perubahan iklim yang menjadi bencana global dengan besaran (magnitude) seperti pandemi Covid-19. Bisa jadi, dampaknya bisa lebih besar lagi.
Mengutip lirik lagu Edy Gombloh Lestari Alamku, pengenaan pajak karbon sejatinya adalah salah satu solusi menjaga alam tetap lestari. Pohon dan rumput dapat bersemi kembali setelah gundul ditebas industrialisasi.
Bukit-bukit pun menjadi hijau dan burung-burung riang bernyanyi. Bumi juga subur ditanami serta pundi keuangan negara terisi di tengah kelesuan ekonomi karena pandemi. Akhirnya, kita pun sehat menghirup udara segar setiap hari. Kita juga dapat nyaman melakukan berbagai aktivitas ekonomi.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.