LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Capital Gains Tax di Tengah Berkembangnya Instrumen Investasi Digital

Redaksi DDTCNews
Jumat, 09 September 2022 | 11.23 WIB
ddtc-loaderCapital Gains Tax di Tengah Berkembangnya Instrumen Investasi Digital

Nathasya Marta Ningrum,

Kota Bekasi, Jawa Barat

VIRUS Corona tidak terprediksi oleh para ahli ekonomi pada awal 2020. Namun demikian, kehadiran virus tersebut, yang pada akhirnya memunculkan pandemi, telah berdampak pada perubahan pola perilaku manusia sebagai bentuk adaptasi. Perubahan juga terjadi pada sektor keuangan.

Adaptasi sektor keuangan itu terlihat dari bermunculannya variasi produk-produk dalam bentuk digital sebagai respons adanya kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat. Contoh, kehadiran mata uang kripto dan non-fungible token (NFT).

Keberadaan NFT mulai jadi perbincangan setelah viralnya Ghozali Everyday dengan unggahan koleksi swafoto sejak 2017. Diversitas produk membuat sejumlah individu melek investasi. Pengelolaan investasi yang tepat bisa memunculkan orang kaya atau High Net Worth Individuals (HNWI) baru.

Tidak ada definisi standar dari HNWI yang disepakati seluruh negara sampai dengan saat ini. Namun, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan HNWI sebagai individu yang memiliki kekayaan atau penghasilan di atas rata-rata.

Dengan banyaknya sumber daya yang dimiliki, HNWI memiliki kecenderungan untuk melakukan berbagai perencanaan pajak untuk ‘menghemat’ pajak. Tak jarang pula ada upaya-upaya penghindaran pajak secara agresif.

Berdasarkan pada kondisi tersebut, negara-negara di dunia –termasuk Indonesia—membuat komitmen pengawasan wajib pajak orang pribadi (WP OP) kategori HNWI. Pasalnya, kontribusi HNWI terhadap penerimaan pajak masih belum optimal.

Terkait dengan kekayaan, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah menerapkan pajak penjualan atas barang mewah (PPNBM). Akan tetapi, jenis pajak ini tidak menyasar HNWI yang memiliki aset keuangan tidak berwujud berupa investasi. OECD menyebutnya dengan wealthy investor (WI).

Sejak pandemi Covid-19, investasi mulai dilakukan tidak hanya di negara sendiri. Digitalisasi telah mengaburkan lintas batas negara, sehingga WI umumnya memiliki mobilitas investasi yang tinggi. WI sangat tertarik dengan negara yang memiliki ‘penawaran’ tarif pajak paling menguntungkan.

Capital Gains Tax

WUJUD penghindaran pajak secara agresif yang dilakukan WI adalah mengoleksi berbagai jenis investasi, tetapi tidak melaporkannya sebagai penghasilan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) OP karena dianggap belum ada penjualan atau pengalihan.

Oleh karena itu, alternatif kebijakan berupa capital gains tax seharusnya dapat diterapkan untuk setiap tambahan kemampuan ekonomis dari investasi yang dimiliki WI. Capital gains tax secara umum adalah pajak atas setiap keuntungan yang diperoleh investor atas investasinya.

Apabila mengacu pada definisi ini, Indonesia telah menerapkannya melalui Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh. Akan tetapi, esensi dari kata ‘gain’ sesungguhnya tidak terbatas pada adanya penjualan atau tidak. Kata ‘gain’ dapat diartikan sebagai adanya tambahan ekonomi seseorang tanpa melihat apakah menambah kekayaan atau menambah penghasilan.

Hal tersebut juga sejalan dengan proposal alternatif kebijakan capital gains tax dengan mekanisme market-to-market (MTM) yang diusung pada Kongres Sen. Ron Wyden di Amerika Serikat. MTM mengenakan capital gains tax pada saat adanya selisih tambah antara nilai kepemilikan jumlah investasi di akhir tahun sebelumnya dengan diakhir tahun berikutnya.

Akan tetapi, pengenaan capital gains tax ini pun memiliki ambang batas nilai kepemilikan investasi yang dapat dikenakan pajak. Di sisi lain, apabila selisih nilai investasi tersebut menimbulkan kerugian maka kerugian tersebut dapat menjadi pengurang pada perhitungan pajak tahunannya.

Alternatif kebijakan capital gains tax dengan mekanisme MTM diharapkan dapat berlaku di Indonesia. Kebijakan ini dapat meminimalisasi upaya penghindaran pajak melalui mobilitas investasi pada produk keuangan digital atau pelimpahan harta ke ahli waris, yaitu dengan menunda penjualan investasi sampai dengan akhir hidup WI agar tidak dikenakan pajak.

Capital gains tax juga perlu diterapkan dengan tarif pajak tinggi, sehingga mampu mewujudkan keadilan pajak, baik untuk middle-class maupun low-class yang sudah dikenakan pajak Pasal 17 UU PPh dengan tarif sampai dengan 35%.

Akan tetapi, penerapan capital gains tax dengan mekanisme ini pun masih memiliki celah bagi WI untuk menghindari pajak. Celah muncul dengan cara berinvestasi pada negara yang memiliki tarif pajak lebih kecil, bahkan zero-tax rate di tax haven country.

Oleh karena itu, perlu adanya kesepakatan secara internasional agar memiliki kesamaan pengenaan pajak pada WI untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak.

Pada saat bersamaan, negara-negara juga tetap berupaya meminimalisasi adanya pengenaan pajak berganda serta mengantisipasi berbagai risiko sebagai akibat dari pengenaan pajak yang mampu mengikis potensi keuntungan WI.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.