DENON PRAWIRAATMADJA:

'Pesawat Tidak Bisa Parkir Lama-lama'

Dian Kurniati
Minggu, 11 Oktober 2020 | 09.00 WIB
ddtc-loader'Pesawat Tidak Bisa Parkir Lama-lama'

Kendati memiliki latar belakang pendidikan ilmu arsitektur, Denon Prawiraatmadja justru memutuskan untuk berbisnis membuka perusahaan jasa penerbangan charter bernama Whitesky Aviation sejak 2010.

Dalam satu dekade ini, bisnisnya terus berkembang. Kliennya kebanyakan adalah korporasi, terutama perusahaan-perusahaan tambang yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, sampai dengan Sulawesi.

Pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengakui tahun ini merupakan tahun paling berat bagi pelaku usaha penerbangan sehingga insentif yang diberikan pemerintah selama ini membantu.

Namun demikian, baginya, kunci untuk menyelamatkan usaha penerbangan di tengah pandemi virus Corona adalah memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap jasa angkutan udara agar dapat kembali naik pesawat.

DDTCNews berkesempatan mewawancarai Denon Prawiraatmadja melalui sambungan telepon perihal kondisi bisnis maskapai dan pandangannya seputar perpajakan. Petikannya:

Apakah ada yang berubah dalam pekerjaan Anda selama pandemi Covid-19?
Saya sebagai ketua umum asosiasi, tentu banyak kegiatan dari asosiasi. Ini cukup menyita waktu dalam berhubungan dengan regulator atau stakeholders lainnya, bagaimana secara bersama-sama membuat program-program agar tujuan pemerintah yang diwakili industri bisa survive dalam menghadapi situasi ini. 

Tapi kalau saya di Whitesky, keruwetannya lebih pada berupa kontrak jangka panjang. Jadi kami masih ada kegiatan, untuk medical sebetulnya. Jadi dampak pandemi ini ada, tapi tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan airlines.

Bagaimana Anda mengawali usaha di bidang penerbangan?
Kebetulan waktu itu ada beberapa temen ada bisnis tambang besar. Jadi usaha carter ini sebetulnya waktu itu memang saya coba untuk menjadi bagian dari supporting transportation untuk perusahaan tambang. Tapi sejalan dengan maraknya pertumbuhan tambah, jadi kami melakukan ekspansi juga.

Kami lebih banyak stand by medevac (medical evacuation) dan operational utility di daerah Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Jadi secara demand ya lebih ke korporasi.

Bagaimana kinerja sektor usaha penerbangan selama pandemi Covid-19?
Yang pasti ada dampak yang cukup berarti dalam industri penerbangan, karena buat negara yang bentuknya kepulauan seperti ini, transportasi udara juga menjadi bagian dari public facility.

Bukan sekadar untuk masyarakat bepergian melakukan aktivitas sosial ekonomi saja, tetapi juga distribusi logistik di seluruh wilayah harus tetap berlangsung.

Pada alat transportasi udara ini sudah diatur melalui protokol kesehatan, tentu baik secara aturan, administrasi, dan yang paling penting kepercayaann masyarakat perlu dikembalikan.

Tapi ini memerlukan waktu untuk penyesuaian. Sebagai contoh, aturan administrasi sebelum berangkat. Penumpang harus memiliki bukti sehat, dan tentu ini menjadi administrasi tambahan untuk masyarakat dalam melakukan kegiatan tersebut.

Tentu ada hambatan juga buat masyarakat. Masyarakat mungkin melihat pada masa Covid ini menjadi tantangan sendiri, dan yang termasuk terkena dampak adalah industri penerbangan. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara lain juga menghadapi hal yang sama.

Apakah mulai ada perbaikan kinerja usaha penerbangan, setelah ada pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB)?
Demand layanan penerbangan penduduk di Indonesia yang paling tinggi pada sepanjang dekade ini adalah tahun 2018, yang jumlahnya mencapai 115 juta penumpang domestik. Pada 2019, menurun 20%, menjadi sekitar 91 juta penumpang.

Kemudian pada 2020, sepanjang Januari-Februari saat Covid mulai banyak menular di China, negara-negara Eropa, Korea, Saudi Arabia, dan sebagainya, penerbangan internasional dari Eropa dan Saudi Arabia ditutup. Bulan Maret, market domestik menurun signifikan karena Covid sudah mulai masuk Indonesia.

Bulan April saat menghadapi situasi puasa dan Lebaran, biasanya ada tradisi orang Indonesia mudik, dan tahun ini pemerintah mencoba mengimbau masyarakat agar tidak mudik melalui Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No. 25/2020. Pembatasan ini tentu mengakibatkan pengurangan cukup drastis pada Mei dan Juni, sehingga pergerakan pesawat hanya 5% di bulan Mei.

Bulan Mei menjadi titik terendah kegiatan penerbangan karena PM No. 25. Di bulan Juni pemerintah menerbitkan PM No. 41/2020, bagaimana setiap stakeholders dalam industri penerbangan menerapkan protokol kesehatan, dari pemesanan tiket, bandara, pengecekan kesehatan, prosedur di dalam pesawat. Semua itu diatur dalam PM No. 41 yang diikuti SE Dirjen No. 13 dan SE Gugus Tugas Penanganan Covid-19 No. 9/2020.

Walaupun aturannya sudah dilengkapi, tapi kan kepercayaan masyarakat perlu disosialisasikan melalui safe travel campaign, memperlihatkan protokol kesehatan di penerbangan sudah benar.

Berdasarkan studi, baik yang dikeluarkan MIT (Massachusetts Institute of Technology) maupun IATA (International Air Transport Association), membuktikan tidak ada satu orang pun yang secara evidence tertular virus di pesawat.

Selama Januari-Maret, tidak ada satu case pun yang dibuktikan. Bahkan MIT menyebutkan pernah ada 1 penumpang positif Covid dari Wuhan ke Toronto di bulan Januari, ternyata 1 pesawat nggak ada yang ketularan.

Melalui campaign itu, di bulan Juli masyarakat sudah mulai berangsur gunakan kembali transportasi udara. Termasuk saya, bersama INACA, ke Jogja, Bali, Medan, campaign bahwa di pesawat cukup steril. Artinya dengan HEPA (High-Efficiency Particulate Air) system ini cukup memfiltrasi udara yang ada di pesawat. Setiap 2-3 menit sekali udara diganti. Sudah sejak dulu pesawai memiliki HEPA system yang baik.

Di bulan Agustus, masyarakat sudah mulai pulih, jadi jumlah penumpangnya jadi 2,5 juta per bulan, sekitar 2-3 juta per bulan. Ini terjadi di bulan Agustus dan September. Tapi kalau dibandingkan dengan tahun 2019, penumpang per bulannya bisa sampai 8-9 juta. Jadi hanya sekitar 30% dari tahun 2019.

Realitanya, sampai akhir tahun 2020, capaiannya nggak sampai 40 juta per tahun, artinya demand 2020 kurang lebih lebih rendah 50% dari 2019.

Sektor usaha angkutan udara termasuk yang memperoleh insentif pajak saat pandemi Covid-19. Bagaimana menurut Anda, apakah cukup membantu?
Saya tanya beberapa anggota asosiasi, sudah ada yang mulai mengunakannya. Beberapa juga sudah mulai berdiskusi dengan kantor pajak. Kalau ditanya apakah cukup membantu? Iya dong. Dalam situasi seperti ini, karena kalau istilahnya kami minusnya sudah dalam, bantuan apapun pasti akan sangat berarti. Insentif pajak ini salah satunya.

Kira-kira, stimulus apa lagi yang dibutuhkan oleh usaha penerbangan?
Saya pikir maskapai lebih perlu insentif soal biaya yang harus dibayarkan maskapai, misalnya biaya parkir pesawat. Saat pandemi ini kan istilahnya maskapai tidak terbang karena tidak kegiatan. Jadi kalau bisa, biaya parkir pesawatnya jangan dibebankan ke maskapai.

Menurut saya, yang paling utama itu PJP4U (Pelayanan Jasa Pendaratan, Penempatan dan Penyimpanan Pesawat Udara), yaitu biaya parkir bandara dan sebagainya. Kami bukan minta diskon ke bandara, tapi minta insentif dari pemerintah, sehingga meringankan beban biaya maskapai.

Biayanya lumayan, kalau parkir pesawat 100 kan lumayan. Sudah ada berapa bulan tuh (pesawat parkir di bandara karena Covid-19). Sebetulnya pesawat itu tidak bisa parkir lama-lama.

Bagaimana prospek bisnis penerbangan tahun depan? Apakah insentif pajak masih diperlukan?
Kalau ditanya kebutuhan insentifnya, buat kami yang penting sekarang ini posisi demand pada 2019 itu bisa nggak kembali di tahun 2021. Kalau nggak bisa kembali, tentu ada biaya harus dikurangkan atau disesuaikan demand yang ada.

Artinya, tentu sangat bergantung pemerintah di setiap negara bagaimana mereka mengatasi penyebaran Covid ini.

Soal kebutuhan stimulus tahun depan, ya tergantung. Vaksinnya sukses atau nggak. Kalau vaksinnya sukses dan pandemi bisa dihentikan, saya pikir stimulus sudah tidak diperlukan lagi.

Karena yang dibutuhkan sebetulnya bukan insentif, tapi bagaimana demand ini kembali segera pulih. Selama demand penumpang besar, tanpa insentif kami tetap bisa jalan.

Selama ini otoritas pajak terus meningkatkan layanannya bagi pelaku usaha, Anda juga merasakannya?
Merasakan dong. (Peningkatan pelayanan) itu tentu mengurangi beban kami juga dari sisi operasional. Dengan adanya penyesuaian-penyesuaian, atau restrukturisasi yang segala bidang dilakukan, tentu beban administrasi yang ada selama ini bisa terbantu. Semoga bisa semakin baik lagi karena menurut saya ini sangat penting.

Secara umum, bagaimana Anda menilai sistem perpajakan di Indonesia saat ini?
Kalau dari sistem pajak, menurut saya sudah cukup bagus. Hanya masih kurang kalau dari sisi pengenaan pajak terhadap proses dan prosedurnya saja. Ini lebih ke proses dan prosedurnya.

Misalnya begini, realitanya, pesawat ini kami masih impor semua. Artinya, dari sisi pengadaan pesawat, sparepart, hampir semuanya kami melakukan proses impor. Tentu proses administrasi teknis pelaksanaannya panjang, seperti aturan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.

Kalau sistem prosedurnya belum sederhana, itu saya pikir ada akan dampaknya secara jangka panjang, dan itu berpengaruh kepada efisiensi perusahaan. Kan pesawat tidak bisa stand by lama-lama kalau ada penggantian sparepart dan sebagainya. Kalau prosedurnya lama, sedikit banyak akan ada pengaruhnya.

Sekarang sudah ada post border yang dilakukan Bea Cukai. Barang sperpart itu masuk kategori lartas (larangan dan pembatasan). Kalau tidak ada post border, barangnya tertahan di Bea Cukai, sambil semua proses administrasi kami lakukan.

Tapi kalau post border, barangnya bisa keluar tapi di kemudian hari Bea Cukai akan mengecek juga apakah proses administrasinya sudah dilakukan atau belum.

Ini sama aja, hanya penundaan masalah administrasi. Padahal, seharusnya ada proses yang lebih sederhana. Pengimpor ini adalah pemilik izin angkutan udara, tentu dia mengimpor dalam kaitan kebutuhan sparepart pesawatnya.

Yang dikhawatirkan kan kalau dia mengimpor barang lain, sehingga tidak ada pajak masukan.  Sehingga, kita harus mencarikan solusi, bagaimana bisa mencegah tindakan kriminal tersebut sehingga dapat menunjang kelangsungan operator pengelola pesawat yang memerlukan impor sparepart.

Kalau di Malaysia, barang yang masuk kategori lartas itu kisaran 15%, tapi di Indonesia masih 49%. Kalau misalnya bisa dibebaskan dari lartas, tentu ini membantu proses verifikasi maskapai dalam impor sparepart. Kala carter masih mending. Tapi kalau maskapai yang pesawatnya 50 atau 100 unit, berapa banyak dia mengimpor sparepart dan mengurus administrasinya.

Apa definisi sukses menurut Anda?
Saya melihatnya dari beberapa sudut pandang. Pertama, dari sisi pencapaian atau sebagai organisasi profit, tentu akan menjadi satu tujuan kalau kita bisa memberikan kinerja perusahaan yang baik. Itu menjadi satu kesuksesan.

Hal lainnya, kalau bisa buat kemajuan atau pengembangan pada industri yang sudah ada. Kalau dari saya, sebetulnya kami menggunakan negara seperti Brasil atau US sebagai benchmark helicity transport. Mereka me-ulitize teknologi heli untuk berbagai misi, medic, disaster, seperti di Jepang.

Buat saya itu akan menjadi kepuasan kalau kita bisa mengembangkan aturan atau bisnis yang sudah ada negara lain, di Indonesia.

Sudah pada tahap mana Anda mencapai kesuksesan soal pengembangan industri penerbangan?
Perusahaan saya baru 10 tahun, cuma saya baru fokus ke helikoper 5 tahun ini. Sekarang sudah ada Cengkareng Heliport, yang beroperasi 3 Agustus kemarin. Karena ada di sebelah bandara Soekarno-Hatta, segmen market kami, 90% berharap ada konektivitas bandara Soekarno-Hatta dan tengah kota.

Karena ada pandemi, sambil menunggu pulih, heliport ini akan dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan konektivitas dari aiport ke tengah kota. Bukan hanya untuk VIP transport, tapi juga medical transport dari airport ke beberapa rumah sakit, yang sekarang ini beberapa juga sudah bekerja sama dengan kami.

Apa arti keluarga bagi Anda dalam mendukung karier?
Keluarga itu bagian dari kehidupan supaya kita bisa balance. Dalam kesibukan, kita tetap bisa sharing apa yang menjadi learning atau experience untuk anak-anak, supaya bisa melihat tantangan sosial ekonomi yang ada, dan juga tetap harus balance bagi keluarga.

Di luar rutinitas kerja, hobi apa yang biasa Anda lakukan?
Kalau olah raga, saya rutin saja. Saya main golf, tetapi rutin, paling seminggu sekali.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Fahriza Khairinisa
baru saja
intinya masyarakat diyakinkan kembali bahwa naik pesawat ini aman dgn memperhatikan protokol kesehatan dan mempermudah juga. dari cerita teman-teman yang sudah memilih transportasi pesawat selama covid ini, pelayanan sudah sangat baik. terima kasih sharingnya!