AKHIR-akhir ini, banyak negara yang mengandalkan instrumen pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai salah satu solusi untuk mengatasi defisit anggaran akibat pandemi Covid-19. Indonesia pun mengambil langkah serupa. Penyesuaian berbagai fitur PPN tengah menjadi agenda untuk meningkatkan fleksibilitas APBN.
Tren ini menimbulkan beragam pertanyaan di ranah publik. Mengapa instrumen PPN menjadi kian populer? Seperti apakah sejarahnya?
Karya berjudul The Value Added Tax: Orthodoxy and New Thinking mencoba merangkum jawabannya. Buku yang terdiri atas 11 bab ini ditujukan untuk memberikan gambaran terhadap pemikiran awal pajak berbasis konsumsi, terutama PPN. Mulai dari fitur-fitur yang dimiliki PPN hingga implikasi terhadap sistem pajak dan perekonomian.
Pada awal pembahasan, pembaca diajak untuk memahami sejarah kemunculan dan perkembangan PPN. Instrumen ini awalnya berkembang pesat di negara-negara Eropa, terutama pada 1970-an. Dalam periode tersebut, terdapat tren pergeseran struktur pajak dari pajak berbasis penghasilan menuju pajak berbasis konsumsi di berbagai negara.
Efek domino tersebut juga dirasakan Amerika Serikat (AS). Hal ini dibuktikan dengan munculnya kritik dan penentangan yang kuat dari publik terhadap reformasi pajak AS yang menitikberatkan pada peningkatan tarif dan perluasan basis pajak penghasilan (PPh).
“The goal is no longer to improve the income tax by broadening its base but to replace it, fully or partly, with a new model." Begitulah kritik yang dilontarkan ekonom klasik Richard Musgrave perihal sistem pajak AS pada waktu itu.
Dari sana, berbagai proposal mengenai pajak berbasis konsumsi menjadi bahasan rutin dalam kongres dan parlemen AS. Salah satu yang paling populer adalah PPN. Dukungan politik terhadap PPN menjadi makin besar karena dipercaya dapat menjadi solusi pamungkas untuk meningkatkan keseimbangan fiskal serta mengurangi defisit anggaran. Hal ini salah satunya dikarenakan basis pajak PPN dianggap lebih luas ketimbang jenis pajak lainnya.
Selain argumen penerimaan, PPN juga dinilai sebagai jenis pajak yang lebih netral dan tak mendistorsi perekonomian. Idealnya, PPN sepenuhnya ditanggung konsumen dan dipungut pada tingkat yang seragam di seluruh basis konsumsi sehingga tidak mendistorsi pilihan di antara produk atau metode produksi.
Seiring dengan berjalannya waktu, prinsip netralitas dan sifatnya yang less distortive meningkatkan peran PPN secara signifikan. Layaknya pada awal kemunculan PPN, berbagai negara nyatanya terus mengandalkan jenis pajak ini untuk mengatasi defisit anggaran pada masa krisis.
Selanjutnya, pada satu bab yang menarik, buku hasil suntingan Murray L. Weidenbaum, David G. Gaboy, dan Ernest S. Christian Jr. ini juga membahas fenomena PPN pada masa kontemporer yang justru mencederai prinsip utamanya. Salah satunya adalah adanya tekanan yang intens untuk memberikan perlakuan khusus dalam sistem PPN, misalnya dalam bentuk pengecualian.
Rezim perlakuan khusus PPN justru dapat mendorong terjadinya cascading effect yang berimbas pada pengenaan beban pajak yang lebih tinggi kepada sektor usaha. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip utama PPN yang seharusnya dibebankan kepada konsumen.
Selain itu, perlakuan khusus yang diberikan memiliki dampak yang cenderung regresif. Contohnya pengecualian PPN yang berpotensi untuk dinikmati oleh lapisan pendapatan yang lebih tinggi, layaknya subsidi pada harga.
Tidak sampai di situ, bagian akhir buku yang diterbitkan oleh Kluwer Academic Publisher pada 1989 ini juga mengidentifikasi berbagai langkah reformasi administrasi dan kepatuhan yang efektif agar PPN diimplementasikan secara sederhana dan sesuai dengan prinsip dan tujuannya.
Penasaran dengan pembahasan lengkapnya? Silakan Anda baca langsung di DDTC Library. (kaw)