BENTUK kejahatan pajak terus berubah mengikuti perkembangan globalisasi dan teknologi. Celah-celah baru dieksploitasi pihak tertentu untuk menghindari kewajiban perpajakannya.
Adapun kejahatan pajak sendiri merupakan salah satu bentuk kejahatan keuangan selain pencucian uang, pelanggaran sanksi, pemalsuan, penggelapan pajak, pendanaan teroris, penyuapan dan korupsi.
Perang melawan kejahatan pajak sedang dilakukan secara aktif oleh negara-negara di seluruh dunia. Setiap negara mempunyai peraturan yang komprehensif untuk menangkis pelanggaran pajak yang terus terjadi.
Untuk mendukung upaya negara-negara tersebut, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) juga mengusulkan sepuluh prinsip global memerangi kejahatan pajak di berbagai negara, yang meliputi aspek hukum, administrasi, dan operasional.
Terdapat 10 prinsip global untuk memerangi kejahatan pajak. Adapun kesepuluh prinsip global yang diberikan OECD tersebut sudah tertuang dalam laporan bertajuk ‘Fighting Tax Crime: The Ten Global Principles’.
Laporan ini diterbitkan untuk memberi gambaran praktik kebijakan pajak di berbagai negara dalam mencegah dan mengurangi kejahatan pajak. Kemudian, praktik di negara-negara tersebut dapat dilakukan evaluasi dengan merujuk pada 10 prinsip global dalam memerangi kejahatan pajak.
Menurut OECD, definisi dan upaya yang dilakukan setiap negara untuk mengatasi kejahatan berbeda-beda. Dalam laporan ini, OECD mengartikan kejahatan pajak sebagai tindakan kesengajaan untuk melakukan pelanggaran hukum atas peraturan perpajakan.
Dalam laporan yang dirilis pada 2017 tersebut, OECD menyatakan untuk memerangi kejahatan pajak, negara-negara perlu melakukan kerjasama dengan lembaga penegak hukum lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri.
Pada saat yang sama, tindakan penyidikan pajak juga perlu dilakukan dengan efisien. Dalam hal ini, peran penyidik pajak memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengatasi tindakan kriminal di bidang perpajakan. Oleh karena itu, salah satu prinsip yang diusulkan untuk memerangi kejahatan pajak ialah memperkuat penyidikan.
Kewenangan Penyidik Pajak
PERLU dipahami, penyidikan pajak merupakan suatu proses untuk menemukan kebenaran atas suatu tindakan yang diduga mengandung unsur pidana pajak. Adapun tujuan utamanya adalah untuk menemukan bukti sekaligus tersangka yang melakukan tindak pidana dalam perpajakan.
Dalam proses penyidikan tersebut, terdapat kemungkinan ditemukannya suatu bukti yang mengarah pada tindakan pidana wajib pajak ataupun bukti yang menegaskan seseorang tidak bersalah (exculpatory evidence). Ketika hal tersebut terjadi, penyidik harus secara khusus mengamati sumber dan pergerakan aset keuangan wajib pajak.
Lebih lanjut, pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan penyidikan harus memiliki kekuatan investigasi yang kuat dan efisien. Setidaknya terdapat beberapa kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh penyidik pajak.
Kewenangan yang dimaksud seperti memperoleh informasi dari pihak ketiga, mencari informasi, dapat melakukan pengawasan terhadap email dan alat komunikasi wajib pajak, dan melakukan pembekuan serta penyitaan.
Tidak hanya itu, beberapa kewenangan lain yang dibutuhkan penyidik pajak ialah melakukan wawancara, pengawasan secara rahasia, melakukan penyamaran, dan dapat menangkap seseorang jika diperlukan.
Dari berbagai kewenangan yang melekat pada penyidik pajak tersebut, OECD menilai kewenangan untuk melakukan pembekuan dan penyitaan aset menjadi kunci keberhasilan proses penyidikan.
Adapun pembekuan aset merupakan upaya untuk melarang wajib pajak melakukan pemindahan atau pelepasan asetnya untuk sementara waktu. Sementara itu, penyitaan ialah tindakan untuk menahan sementara suatu aset dan memasukkannya ke dalam penguasaan pemerintah.
Pada umumnya, tindakan penyitaan dilaksanakan setelah kasus memperoleh keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun, untuk menjamin harta kekayaan hasil tindak pidana perpajakan tetap aman dan berada dalam jangkauan pemerintah selama proses penyidikan, penting bagi penyidik pajak untuk melakukan pembekuan dan penyitaan aset.
Hal tersebut dikarenakan aset keuangan sangat mudah dipindahtangankan dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lain dan menyebabkan kerugian finansial bagi pemerintah. Selain itu, pembekuan dan penyitaan harta kekayaan juga diperlukan untuk mencegah hasil tindak pidana digunakan untuk kepentingan pribadi dan menjaga bukti fisik hasil tindak pidana.
OECD menegaskan proses pembekuan dan penyitaan juga perlu didukung dengan transparansi dari pihak penyidik. Selain itu, perlu adanya kerangka tata kelola aset yang jelas dan terstruktur. Tidak hanya itu, pembentukan kerja sama internasional juga dibutuhkan ketika diindikasikan terdapat aset wajib pajak yang berada di luar wilayah Indonesia.
Pada kesimpulannya, OECD mendorong negara-negara menggunakan prinsip-prinsip yang tercantum dalam laporan ini sebagai alat untuk mengidentifikasi sejauh mana upaya mengatasi kejahatan pajak yang sudah dilakukan.
Menariknya, upaya penguatan penyidikan melalui penambahan kewenangan penyidik melakukan penyitaan telah menjadi agenda kebijakan sebagaimana tertuang dalam materi revisi UU KUP. Penambahan kewenangan tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan proses penegakan hukum pajak di Indonesia dan mengurangi tindakan kejahatan di bidang perpajakan. (kaw)