HARI radio nasional di Indonesia diperingati setiap 11 September. Hari peringatan ini bertepatan dengan berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945. Kala itu, radio menjadi salah satu alat komunikasi yang populer di kalangan masyarakat.
Di tengah gempuran internet, radio tidak kalah dan turut berevolusi dengan merambah aplikasi berbasis internet. Kendati media komunikasi dan hiburan semakin beragam, radio pun tetap memiliki tempat tersendiri di hati para penikmatnya.
Berbicara perihal radio, ada sejarah panjang yang melekat pada media satu ini. Selain perannya dalam menyampaikan informasi dan media hiburan, terdapat histori pengenaan pajak radio yang berlaku di Indonesia. Lantas, seperti apa pajak radio pada masa itu?
Pajak radio adalah pajak yang dipungut pada pesawat penerimaan radio. Adapun yang dimaksud sebagai pesawat penerimaan radio adalah segala alat yang dapat dipakai untuk menerima gelombang radio (Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang No. 12/1947).
Pemungutan pajak radio awalnya diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 12/1947. Kala itu, pajak radio dipungut untuk membiayai pengeluaran pemerintah terkait dengan penyelenggaraan siaran radio.
Hal ini juga berkaitan dengan peralihan penyelenggaraan siaran radio dari N.V Nirom ke pemerintah Indonesia. Sebelumnya, N.V Nirom (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij) merupakan pihak yang mengurus siaran radio pada masa pemerintahan Hindia-Belanda.
Guna memperlancar operasional, badan siaran radio Hindia Belanda tersebut memungut iuran dari pemegang pesawat radio. Bergerak ke era pasca-kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengambil alih penyelenggaraan siaran radio.
Penyelenggaraan siaran radio kala itu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, pemerintah memungut iuran dengan mengganti sifatnya sebagai pajak atas pesawat penerimaan radio atau disebut sebagai pajak radio.
Merujuk UU 12/1947, pajak radio dikenakan Rp5 per bulan. Pajak ini menyasar para pemegang pesawat penerimaan radio. Pengenaan pajak radio kala itu dinilai tidak memberatkan karena pemilik pesawat radio dipandang sebagai orang yang cukup mampu.
Menyusul jumlah radio yang terus meningkat, tarif pajak radio dinaikkan menjadi Rp7,5 per bulan mulai 1960. Pemerintah menaikkan tarif pajak radio karena menganggap nilai rupiah makin merosot dan pemerintah membutuhkan pendanaan lebih besar.
Pemerintah selanjutnya mengubah ketentuan pajak radio melalui UU 21/1948. Melalui undang-undang tersebut, pemerintah memperluas jenis-jenis pesawat radio yang dibebaskan dari pengenaan pajak radio.
Pembebasan tersebut di antaranya diberikan terhadap pesawat penerimaan radio yang dipakai oleh tentara untuk kepentingan ketentaraan dan yang dipakai untuk kepentingan jawatan-jawatan yang berwajib menyelenggarakan, mengawasi siaran radio, dan menyediakan radio umum.
Selain itu, pesawat penerimaan radio yang dipakai duta, konsul dan wakil lainnya dari negara-negara asing, dan orang-orang yang bekerja serta mendiami tempat tinggal yang sama dengan mereka (sepanjang merupakan orang asing) juga dibebaskan dari pengenaan pajak radio.
Pada 20 tahun kemudian, pemerintah kembali mengubah ketentuan pajak radio. Kala itu, pemerintah mengalihkan kewenangan pemungutan pajak radio ke pemerintah daerah. Hal ini diatur melalui UU No.10/1968.
Dalam perkembangannya, pemerintah mencabut pengenaan pajak radio pada 1997. Pencabutan pengenaan pajak radio tersebut dilakukan seiring dengan diundangkannya UU No.18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). (rig)