PEMERINTAH memiliki kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara yang dipakai untuk mencapai tujuan bernegara. Guna menjamin keuangan negara terkelola dengan baik, pemerintah menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada setiap tahunnya.
APBN berisikan rencana keuangan tahunan pemerintahan yang di dalamnya terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
Pendapatan negara tersebut berasal dari beragam sumber yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak (PNBP), dan hibah. Sebaliknya, belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Belanja negara tersebut harus dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Adapun perincian belanja negara menurut jenis belanja di antaranya adalah belanja subsidi dalam rangka pemberian insentif fiskal pajak ditanggung pemerintah.
Istilah pajak ditanggung pemerintah ini kerap terdengar terutama saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Belakangan, istilah pajak ditanggung pemerintah juga termaktub dalam ketentuan mengenai PPN atas penyerahan rumah. Lantas, apa itu pajak ditanggung pemerintah?
Pajak ditanggung pemerintah (DTP) adalah pajak terutang yang dibayar oleh pemerintah dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan dalam APBN, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang (UU) mengenai APBN (Pasal 1 angka 1 PMK 92/2023).
Pajak DTP merupakan bentuk insentif fiskal yang diberikan pemerintah untuk menstimulus kegiatan perekonomian. Seperti yang telah disebutkan, pemberian insentif pajak DTP ditetapkan dalam UU APBN.
Sementara itu, perincian pengaturan pelaksanaan pajak DTP diatur dalam peraturan menteri Keuangan (PMK). Misal, saat ini mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak DTP diatur dalam PMK 92/2023.
Merujuk beleid tersebut, menteri keuangan menetapkan objek pajak tertentu yang mendapatkan insentif pajak DTP. Adapun pajak DTP tersebut dapat berupa pajak penghasilan (PPh) DTP, PPN DTP, dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) DTP.
Umumnya, pemerintah memberikan pajak DTP untuk tujuan tertentu. Misal, pada saat pandemi Covid-19 melanda, pemerintah memberikan beragam jenis PPh DTP dan PPN DTP atas barang dan bidang yang diperlukan untuk penanggulangan Covid-19.
Selain untuk penanggulangan Covid-19, pemerintah juga sempat memberikan insentif PPh DTP untuk pekerja tertentu pada 2003. Pemberian insentif PPh DTP untuk pekerja tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 47/2003.
Berdasarkan beleid tersebut, PPh DTP diberikan untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang bekerja sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap pada satu pemberi kerja di Indonesia. Selain itu, pekerja tersebut menerima gaji dalam bentuk uang sampai dengan Rp2 juta sebulan.
Kala itu, pemerintah memberikan insentif PPh DTP sebagai upaya memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya kelompok pekerja lapisan bawah. Pemberian insentif PPh DTP tersebut terkait dengan adanya krisis ekonomi.
Selain itu, pemerintah juga sempat kembali memberikan PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja tertentu pada 2009. Kala itu, berdasarkan PMK 43/2009, PPh Pasal 21 DTP diberikan untuk pekerja dengan jumlah penghasilan bruto di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan tidak lebih dari Rp5 juta dalam satu bulan.
Lebih lanjut, pekerja yang bisa mendapat PPh Pasal 21 DTP merupakan pekerja yang bekerja pada satu pemberi kerja pada kategori usaha tertentu. Adapun kategori usaha tertentu itu meliputi pertanian (termasuk perkebunan, peternakan, perburuan, dan kehutanan), perikanan, serta pengolahan.
Selain PPh DTP, pemerintah juga kerap memberikan PPN DTP. PPN DTP tersebut di antaranya pernah diberikan pada 2011 melalui PMK 29/2011. Kala itu, PPN DTP diberikan atas penyerahan minyak goreng sawit curah di dalam negeri. Sementara itu, PPnBM DTP di antaranya diberikan untuk kendaraan bermotor tertentu. (rig)