Ilustrasi.
CUKAI merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik sesuai dengan undang-undang. Barang yang dikenakan cukai biasa disebut sebagai barang kena cukai (BKC).
Saat ini, terdapat 3 barang yang termasuk dalam BKC di Indonesia. Ketiga barang tersebut, yaitu etil alkohol (EA), minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA), serta hasil tembakau (HT), dan hasil pengolahan tembakau lainnya.
BKC harus terlebih dahulu dilunasi cukainya sebelum dapat diedarkan. Terkait dengan pelunasan cukai, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) dapat menerbitkan Surat Penyerahan Penagihan Biaya Pengganti (SPPBP-2) pada kondisi tertentu. Lantas, apa itu SPPBP-2?
Sebelum membahas mengenai SPPBP-2, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai pita cukai dan proses pemesanan pita cukai. Pita cukai merupakan dokumen sekuriti sebagai tanda pelunasan cukai dalam bentuk kertas yang memiliki sifat/unsur sekuriti dengan spesifikasi dan desain tertentu. Simak Apa Itu Pita Cukai?.
Pelunasan cukai dengan cara pelekatan pita cukai harus dilakukan atas 3 jenis BKC. Pertama, MMEA yang dibuat di Indonesia dengan kadar EA lebih dari 5%. Kedua, MMEA yang diimpor untuk dipakai dalam daerah pabean. Ketiga, HT seperti rokok. Simak Apa Itu MMEA?
Ketiga jenis BKC tersebut dianggap telah dilunasi cukainya apabila sudah dilekati dengan pita cukai pada kemasan penjualan ecerannya. Simak 3 Cara Pelunasan Cukai.
Untuk memperoleh pita cukai, pengusaha pabrik atau importir dapat mengajukan permohonan penyediaan pita cukai (P3C). Terdapat 2 format P3C, yaitu P3C HT dan P3C MMEA. P3C tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan dan format yang telah ditetapkan. Simak Apa Itu P3C?
Atas pengajuan tersebut, Kepala Kantor Bea dan Cukai akan meneruskan P3C HT atau P3C MMEA kepada direktur. Apabila pita cukai yang diajukan melalui P3C telah tersedia maka pengusaha pabrik atau importir dapat mengajukan pemesanan pita cukai.
Pemesanan pita cukai itu ditujukan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai dengan menggunakan dokumen CK-1 (untuk HT) atau CK-1A (untuk MMEA). Pembayaran cukai atas dokumen CK-1 atau CK-1A tersebut dilakukan melalui bank persepsi atau pos persepsi.
Namun, pengusaha pabrik atau importir ada kalanya tidak merealisasikan pita cukai yang telah diajukan tersebut. Kondisi itu membuat pejabat DJBC akan menerbitkan Surat Pemberitahuan dan Penagihan Biaya Pengganti (SPPBP-1).
SPPBP-1 diterbitkan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai untuk mengenakan biaya pengganti kepada pengusaha pabrik atau importir yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 22 ayat (3) PER-24/BC/2018 s.t.d.d PER-5/BC/2022, besarnya biaya pengganti setiap keping pita cukai, yaitu:
Pengusaha pabrik atau importir harus melunasi biaya pengganti penyediaan pita cukai paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal diterimanya SPPBP-1. Pembayaran biaya pengganti harus dibuktikan dengan bukti penerimaan negara (BPN) sebagai penerimaan cukai lainnya.
Apabila pengusaha pabrik atau importir tidak melunasi biaya pengganti penyediaan pita cukai maka akan mengakibatkan terbitnya SPPBP-2.
SPPBP-2 adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat DJBC untuk menyerahkan penagihan biaya pengganti atas penyediaan pita cukai kepada Ketua Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) cabang melalui Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Biaya pengganti yang dimaksud adalah biaya yang harus dibayar oleh pengusaha pabrik atau importir atas penyediaan pita cukai yang telah diajukan dengan P3C HT atau P3C MMEA, tetapi tidak direalisasikan dengan CK-1 atau CK-1A.
Sesuai dengan pengertian tersebut, SPPBP-2 dipakai untuk menyerahkan penagihan biaya pengganti ke PUPN. Pejabat DJBC menyampaikan SPPBP-2 kepada Ketua PUPN cabang melalui KPKNL dengan dilampiri dokumen P3C dan SPPBP-1.
Adanya penyerahan penagihan tersebut, membuat penagihan biaya pengganti bisa dilakukan oleh PUPN. PUPN memang menjadi pihak yang diberikan mandat untuk mengurus piutang negara yang macet dan belum dapat ditagih. (rig)