HAK Kekayaan Intelektual (HKI) diartikan sebagai perlindungan terhadap karya-karya yang timbul karena adanya kemampuan intelektualitas manusia. HKI bisa terkait dengan bidang seni, sastra, ilmu pengetahuan, estetika, dan teknologi.
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) diberikan kewenangan untuk mengawasi dugaan pelanggaran HKI terhadap lalu lintas barang impor maupun ekspor. Kewenangan ini merupakan pengejawantahan amanat dari WTO - Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).
Guna menjalankan peran tersebut, DJBC pun menggagas adanya rekordasi HKI. Lantas, apa itu rekordasi HKI?
Perekaman (recordation) adalah kegiatan untuk memasukan data HKI ke dalam database kepabeanan DJBC (Pasal 1 angka 17 PMK 40/2018). Perekaman inilah yang biasa disebut juga sebagai rekordasi HKI.
Merujuk Pasal 3 ayat (1) PMK 40/2018, rekordasi HKI dilakukan berdasarkan permohonan pemilik atau pemegang HKI (right holder). Right holder dapat mengajukan permohonan rekordasi data HKI berupa merek dan hak cipta secara tertulis kepada direktur bidang HKI pada DJBC.
Pengajuan permohonan dilakukan dengan mengisi formulir permohonan perekaman sesuai dengan contoh format dalam Lampiran PMK 40/2018. Selain itu, right holder harus menunjuk examiner yang paham akan merek dan hak cipta barang yang akan direkordasi pada sistem DJBC.
Untuk diperhatikan, examiner berarti orang yang memahami dan berkompeten mengenai keaslian dari barang berupa merek dan hak cipta yang ditunjuk oleh right holder. Secara lebih terperinci, examiner yang ditunjuk harus memahami data mengenai:
Apabila permohonan HKI disetujui, direktur bidang HKI DJBC akan menerbitkan persetujuan perekaman data HKI. Selanjutnya, pejabat bea dan cukai akan melakukan perekaman ke dalam sistem DJBC.
Data HKI yang terekam dalam sistem DJBC tersebut berlaku untuk paling lama 1 tahun terhitung sejak tanggal persetujuan. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang berdasarkan permohonan right holder.
Data HKI yang sudah terekam pada sistem DJBC bisa membantu penindakan barang yang terindikasi melanggar HKI. Tindakan yang bisa dilakukan DJBC di antaranya berupa penegahan barang impor atau ekspor yang diduga melanggar HKI berdasarkan bukti yang cukup.
Penegahan barang berarti tindakan administrasi untuk menunda pengeluaran, pemuatan, dan pengangkutan barang impor atau ekspor sampai dipenuhinya kewajiban pabean. DJBC pun akan memberitahukan adanya temuan dugaan pelanggaran HKI kepada right holder.
Terhadap pemberitahuan tersebut, right holder harus memberikan konfirmasi. Adapun konfirmasi ini bisa berupa pengajuan permohonan perintah penangguhan kepada pengadilan atau tidak mengajukan permohonan penangguhan kepada pengadilan.
Sementara itu, penangguhan berarti penundaan untuk sementara waktu terhadap pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang diduga merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran HKI.
Perlu diperhatikan, rekordasi HKI oleh DJBC sama sekali tak menggantikan mekanisme pendaftaran HKI di Ditjen Kekayaan Intelektual (DJKI). Rekordasi HKI DJBC hanya ditujukan untuk membantu DJBC sehingga memiliki data yang cukup mengenai HKI.
Dengan demikian, DJBC dapat melakukan profiling dan targeting yang lebih efektif atas potensi pelanggaran HKI. Selain Indonesia, sejumlah negara telah lama menerapkan mekanisme perekaman serupa. (rig)