MELESATNYA kegiatan pembangunan di segala bidang membuat kebutuhan akan tanah dan/atau bangunan terus meningkat. Peningkatan kebutuhan ini menjadikan transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan sebagai suatu aktivitas yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat.
Transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan juga tidak terlepas dari aspek pajak. Selain bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang ditanggung pembeli, terdapat juga pajak penghasilan (PPh) final pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PHTB) yang harus ditanggung penjual.
Lantas, apa yang dimaksud dengan PPh final PHTB?
Ketentuan mengenai PPh Final PHTB tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2016 (PP 34/2016), dan Peraturan Menteri Keuangan No. 261/PMK.03/2016 (PMK 261/2016).
Kendati tidak ada pasal yang mendefinisikan secara harfiah, berdasarkan pada ketiga aturan tersebut diketahui pengertian dari PPh Final PHTB adalah PPh bersifat final yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari PHTB.
Penghasilan dari PHTB adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
Adapun yang dimaksud dengan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah semua hak atas tanah dan/atau bangunan. Hak tersebut antara lain dapat berupa 2 bentuk. Pertama, hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai sebagaimana diatur UU Agraria.
Kedua, hak milik atas satuan rumah susun dan kepemilikan bangunan gedung satuan rumah susun sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai rumah susun. PPh final yang dikenakan atas PHTB dipatok dengan 3 tarif berbeda, yaitu 0%, 1%, dan 2,5%.
Nilai yang menjadi dasar perhitungan PHTB pun berbeda-beda, tergantung jenis transaksi yang mendasari pengalihan hak atas tanah/bangunan. Misalnya, untuk pengalihan hak kepada pemerintah maka nilai yang digunakan adalah nilai berdasarkan pada keputusan pejabat yang berwenang.
Bagi orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari PHTB wajib menyetor sendiri PPh final yang terutang ke bank/pos persepsi.
Penyetoran tersebut dilakukan sebelum akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Sementara itu, bagi orang pribadi atau badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari PHTB, PPh final terutang saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas pengalihan tersebut.
Adapun PPh Final PHTB bagi orang pribadi atau badan yang usaha pokoknya melakukan PHTB dihitung berdasarkan pada jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan tersebut.
PPh final yang terutang bagi orang pribadi atau badan yang usaha pokoknya melakukan PHTB tersebut wajib dibayar orang pribadi atau badan bersangkutan ke kas negara paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.
Namun, tidak semua wajib pajak yang mengalihkan hak atas tanah/bangunan dikenakan PPh Final PHTB. Berdasarkan pada Pasal 6 PP 34/2016, setidaknya terdapat 7 golongan wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh final PHTB.
Selain PHTB, perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) atas tanah dan/atau bangunan juga terutang PPh final dengan tarif serupa. Dasar hukum mengenai PPh atas PPJB juga tercantum dalam PP 34/2016 dan PMK 261/2016.
Ketentuan lebih lanjut mengenai PPh Final PHTB maupun PPJB tersebut dapat disimak dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, PP 34/2016, dan PMK 261/2016. Anda juga dapat menyimak artikel ‘Pajak atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan’. (kaw)