PAJAK Penghasilan (PPh) Pasal 25 adalah pembayaran PPh secara angsuran dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri, baik oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan setiap bulan setelah dikurangi dengan kredit pajak.
Pembayaran pajak secara diangsur ini memudahkan wajib pajak ketimbang membayar pajak sekaligus pada akhir tahun. Pada prinsipnya, besaran angsuran bulanan yang dibayar adalah sebesar PPh yang terutang menurut SPT PPh tahun lalu dengan dikurangi kredit pajak.
Meski demikian, Pasal 25 ayat (7) UU PPh memperkenankan menteri keuangan untuk menetapkan perhitungan besaran angsuran pajak bagi wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu atau biasa disebut wajib pajak OPPT. Lantas, apa itu OPPT?
Definisi
BERDASARKAN memori penjelasan Pasal 25 ayat (7) huruf c UU PPh, wajib pajak OPPT adalah wajib pajak orang pribadi yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha. Ketentuan mengenai wajib pajak OPPT saat ini tertuang dalam PMK 215/2018 yang berlaku mulai 31 Desember 2018.
Berlakunya PMK 215/2018 ini sekaligus mencabut PMK 255/2008 s.t.d.d. PMK 208/2009. Adapun PMK 215/2020 salah satunya memperbarui definisi dari wajib pajak OPPT. Mengacu Pasal 1 angka 4 beleid tersebut definisi wajib pajak OPPT adalah:
“Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 atau lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal wajib pajak.”
Apabila disandingkan dengan beleid terdahulu, definisi tersebut lebih terperinci ketimbang yang tercantum dalam PMK 255/2008 s.t.d.d. PMK 208/2009. Sebelumnya, PMK 255/2008 s.t.d.d. PMK 208/2009 mengartikan wajib pajak OPPT sebagai:
“Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan yang mempunyai tempat usaha lebih dari satu, atau mempunyai tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili,”
Sementara itu, dalam aturan turunan PMK 255/2008 s.t.d.d. PMK 208/2009, yaitu Perdirjen Pajak No. PER-32/PJ/2010, wajib pajak OPPT adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai pedagang pengecer yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha.
Pedagang eceran dalam PER-32/PJ/2010 adalah orang pribadi yang melakukan penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan/atau penyerahan jasa. Hal ini berarti definisi dalam PMK 215/2018 tidak jauh berbeda dengan definisi dalam aturan terdahulu.
Definisi baru dalam PMK 215/2018 tersebut lebih kepada memperjelas pengertian wajib pajak OPPT. Namun, seperti halnya PMK 255/2008 s.t.d.d. PMK 208/2009, PER-32/PJ/2010 kini sudah tidak berlaku. Sebab, PER 32/PJ/2010 telah dicabut PER-14/PJ/2019.
Pencabutan PER-32/PJ/2010 ini dilakukan untuk menyederhanakan regulasi dan memberi kepastian hukum tanpa mengubah substansi ketentuan terkait angsuran PPh pasal 25. Apalagi, substansi aturan angsuran itu telah diatur dalam PMK 215/2018.
DJP juga menyatakan wajib pajak OPPT dengan omzet hingga Rp4,8 miliar setahun (UMKM) dapat memilih memanfaatkan skema khusus pajak final 0,5% (skema pajak final PP 23/2018) atau memilih skema pajak umum (non-final).
UMKM yang memilih skema umum atau non-final maka berlaku ketentuan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 sebesar 0,75%. Sementara itu, bagi wajib pajak OPPT dengan omzet lebih dari Rp4,8 miliar setahun (non-UMKM) wajib membayar angsuran PPh pasal 25 sebesar 0,75%.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 25 ayat (7) huruf c UU PPh dan PMK Pasal 7 ayat (1) PMK 215/2018 yang menyatakan angsuran PPh Pasal 25 untuk wajib pajak OPPT ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal wajib pajak.
Mengutip laman resmi DJP, tujuan dari pengenaan PPh Pasal 25 untuk wajib pajak OPPT adalah untuk simplifikasi sehingga wajib pajak tidak perlu mengumpulkan omzet, penghasilan neto, serta penghitungan pajak dalam penentuan PPh Pasal 25.
Wajib pajak cukup membayar sejumlah tarif yang ditentukan per bulan dari masing-masing tempat usaha. Namun, bagi wajib pajak yang telah mengaplikasikan ketentuan PPh Final berdasarkan PP 23/2018 maka kewajiban pembayaran PPh 25 bagi wajib pajak OPPT ditiadakan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib pajak OPPT dapat disimak dalam UU PPh, PMK 215/2018, dan Surat Edaran Dirjen pajak No. SE-25/PJ/2019.
Simpulan
INTINYA wajib pajak OPPT adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 atau lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal wajib pajak.
Wajib pajak ini memiliki perhitungan angsuran PPh Pasal 25 yang berbeda dengan skema umum. Tarif PPh Pasal 25 wajib pajak OPPT ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto per bulan dari masing-masing tempat usaha. Pajak ini bersifat tidak final sehingga dapat dikreditkan pada akhir tahun pajak. (rig)