DALAM Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), terdapat pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajiban wajib pajak. Salah satu hak wajib pajak adalah hak untuk mengajukan keberatan. Ketentuan mengenai keberatan ada dalam Pasal 25 UU KUP.
Dalam UU KUP dan aturan turunannya, tidak ada penyebutan secara eksplisit mengenai definisi keberatan. Namun, merujuk Pasal 25 ayat (1) UU KUP, secara sederhana keberatan pajak dapat diartikan sebagai upaya yang dapat ditempuh wajib pajak yang kurang atau tidak puas, atau tidak sependapat dengan hasil pemeriksaan pajak yang tertuang dalam ketetapan pajak maupun atas pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Simak ‘Apa Itu Keberatan?’
Sebagaimana diketahui, salah satu langkah yang dapat dilakukan Ditjen Pajak (DJP) untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya adalah melalui pemeriksaan pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan, DJP akan menerbitkan suatu ketetapan pajak.
Pada dasarnya, pengajuan keberatan terhadap ketetapan otoritas pajak merupakan hal yang lumrah dilakukan. Sebab, sejak proses pemeriksaan, sering kali pemeriksa pajak memiliki perbedaan pendapat dengan wajib pajak atas suatu sengketa perpajakan.
Oleh karena itulah, untuk menjamin keadilan bagi wajib pajak, UU KUP memberikan hak mengajukan keberatan atas hasil pemeriksaan yang termuat dalam suatu ketetapan otoritas pajak.
Dalam penyelesaian sengketa pajak melalui keberatan ini, DJP sering disebut sebagai peradilan semu (Soemitro, 1991). Proses keberatan memberikan kesempatan pada wajib pajak untuk tidak menyetujui jumlah angka yang ditetapkan oleh pemeriksa pajak.
Kesempatan diberikan apabila wajib pajak tidak puas atas hasil tersebut dan memiliki dasar dan bukti yang kuat atas perhitungan mereka. Kesempatan ini mencerminkan asas keadilan yang dipegang oleh pemerintah atas setiap perbedaan jumlah pajak terutang yang dihitung oleh kedua belah pihak.
Ruang Lingkup Keberatan
TIDAK semua jenis ketetapan pajak bisa diajukan keberatan. Sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) UU KUP, keberatan hanya dapat diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak atas:
Sesuai Pasal 1 UU KUP, SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Sementara itu, SKPKBT merupakan surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Timbulnya ketetapan ini biasanya dikarenakan adanya data baru yang belum terungkap pada saat pemeriksaan sebelumnya pada tahun pajak yang bersangkutan.
Adapun SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. Timbulnya pajak lebih bayar ini disebabkan karena kredit pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dibayar.
Sementara itu, SKPLN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Simak ‘Inilah Pengertian SKP’
Perlu dicatat bahwa keberatan tidak hanya dapat diajukan atas keempat jenis surat ketetapan pajak di atas. Keberatan juga dapat dilakukan apabila wajib pajak tidak setuju dengan hasil pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga sebagai pemotong pajak. Simak artikel ‘Perbedaan Pemotongan dan Pemungutan Pajak’.
Lebih lanjut, sesuai Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 202/PMK,03/2015 tentang Perubahan atas PMK No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan (PMK 202/2015), wajib pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat ketetapan pajak.
Materi dan isi yang dimaksud meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.
Kemudian, ditegaskan pula dalam Pasal 2 ayat (4) PMK 202/2015, jika terdapat alasan keberatan selain mengenai materi atau isi dari surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak, alasan tersebut tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan. Simak artikel ‘Ruang Lingkup Keberatan dalam Hukum Perpajakan’. *