PENYELESAIAN sengketa antara wajib pajak dan otoritas pajak sering kali melewati proses yang cukup panjang. Bermula dari ketetapan pajak sebagai produk pemeriksaan, proses penyelesaian sengketa pun dijalankan, mulai dari keberatan, banding, hingga peninjauan kembali.
Sesuai dengan Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap (incracht). Namun, UU Pengadilan Pajak mengatur upaya hukum lain yang didapat ditempuh.
Dalam hal ini, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjuan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak. Lantas apa yang dimaksud dengan peninjauan kembali?
Pengertian Peninjauan Kembali
PENINJAUAN Kembali adalah salah satu tugas Mahkamah Agung yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 (UU MA) yang berbunyi:
“MA bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
UU Pengadilan Pajak tidak merumuskan secara jelas definisi dari peninjauan kembali. Namun, definisi peninjauan kembali dapat ditemukan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Kembali Putusan Pengadilan Pajak (PERMA No. 7/2018).
Sesuai Pasal 1 Angka 3 PERMA No. 7/2018, permohonan peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus kembali putusan Pengadilan Pajak.
Definisi dalam PERMA juga selaras dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII UU No. 8 Tahun 1981 yang menyebut peninjauan kembali sebagai salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia.
Secara sederhana, peninjauan kembali atau biasanya disingkat PK dalam konteks pajak merupakan suatu upaya hukum yang dapat ditempuh pihak-pihak yang bersengketa (wajib pajak maupun otoritas pajak) untuk meninjau kembali suatu putusan Pengadilan Pajak yang telah berkekuatan hukum tetap.
Upaya peninjauan kembali ini biasanya ditempuh karena wajib pajak maupun otoritas pajak belum merasa puas dengan keputusan banding yang dikeluarkan oleh Pengadilan Pajak. Oleh sebab itu, UU Pengadilan Pajak memberikan hak kepada para pihak yang bersengketa untuk memperjuangkan hal yang dirasa sebagai haknya sekalipun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap.
Hal tersebut juga bertujuan untuk menjamin hak asasi manusia (HAM) yang seluas-luasnya sesuai dengan Pasal 28D UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Cakupan Peninjauan Kembali
MENGENAI cakupan peninjauan kembali dalam lingkungan pengadilan pajak, UU Pengadilan Pajak menetapkan peninjauan kembali dapat dilakukan terhadap putusan-putusan pengadilan pajak.
Sesuai dengan Pasal 80 ayat (1) UU Pengadilan Pajak, putusan Pengadilan Pajak dapat berupa putusan menolak, mengabulkan sebagian atau seluruhnya, menambah pajak yang harus dibayar, membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, dan/atau membatalkan.
Selain itu, perlu dipahami dalam lingkungan pengadilan pajak, berdasarkan Pasal 80 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, permohonan peninjauan kembali terhadap suatu putusan hanya dapat diajukan sebanyak satu kali saja pada setiap putusan.
Ketentuan ini juga selaras dengan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyatakan permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali. Akibatnya, PK dapat dilakukan berkali-kali.
Namun, Mahkamah Agung akhirnya menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. Dalam SEMA ini diatur PK hanya bisa dilakukan satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya, Mahkamah Agung telah mengukuhkan PK hanya dapat dilakukan satu kali.
Dalam konteks pajak sendiri, mekanisme pengajuan PK yang hanya sekali ini dapat dimaklumi. Salah satunya untuk menjamin kepastian hukum dan mempertimbangkan cash flow bagi wajib pajak. Selain itu, ketentuan itu juga untuk menjaga efesiensi pemungutan pajak sebagai sumber terbesar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).*