PENAGIHAN pajak merupakan tindakan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), selaku otoritas pajak di Indonesia, untuk memastikan kepatuhan seluruh wajib pajak. Pada praktiknya, proses dimulai dari upaya penagihan pajak yang masih bersifat persuasif seperti teguran atau peringatan.
Apabila seorang penanggung pajak masih juga belum melunasi utang pajaknya, otoritas pajak akan mulai melakukan tindakan penagihan pajak yang lebih keras. Tindakan yang lebih keras tersebut, seperti penagihan seketika, penagihan sekaligus, hingga mengeluarkan surat paksa.
Tindakan tersebut dilakukan sebelum pada akhirnya otoritas pajak terpaksa melakukan tindakan yang lebih keras lagi, yaitu dengan melakukan pencegahan, penyitaan, atau penyanderaan terhadap penanggung pajak.
Sifat Surat Paksa
SURAT paksa adalah sebuah surat yang berisi perintah terhadap seorang penanggung pajak untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Upaya tersebut, merupakan upaya terakhir sebelum otoritas pajak melakukan tindakan penagihan pajak secara paksa terhadap penanggung pajak.
Lantas, apakah yang membedakan upaya penagihan pajak menggunakan surat paksa dengan upaya-upaya sebelumnya seperti penagihan seketika atau penagihan sekaligus?
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 s.t.d.t.d. Undang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa), penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak.
Hal tersebut tentu berbeda dengan penagihan pajak menggunakan surat paksa yang jelas menetapkan tanggal jatuh tempo bagi penanggung pajak untuk melunasi utang pajaknya.
Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU PSPP, surat paksa memiliki kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan pajak yang telah berkekuatan hukum tetap.
Surat paksa memiliki kekuatan hukum yang sama dengan grosse putusan hakim dalam perkara perdata sehingga terhadap surat paksa tidak dapat diajukan banding. Terlebih, surat paksa juga memiliki sifat in kracht van gewijsde yang artinya telah berkekuatan hukum yang pasti.
Oleh karena itu, dari segi sifatnya, surat paksa memiliki sifat yang cenderung lebih kuat serta lebih memaksa ketimbang upaya penagihan pajak sebelumnya. Hal ini dikarenakan kedudukannya setara dengan putusan hakim. Surat paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding.
Bentuk Surat Paksa
JIKA dilihat dari bentuknya, surat paksa tidak jauh berbeda dengan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus. Pada dasarnya, surat perintah penagihan seketika dan sekaligus memuat hal-hal yang tidak jauh berbeda dari surat paksa, yakni:
Sementara itu, mengenai bentuk dan isi dari surat paksa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU PSPP, surat paksa harus dikepalai dengan kalimat "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
Surat paksa setidaknya harus memuat beberapa informasi, antara lain nama wajib pajak atau nama wajib pajak dan penanggung pajak; dasar penagihan; besarnya utang pajak; dan perintah untuk membayar.
Berdasarkan uraian di atas, perbedaan antara surat paksa dengan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus adalah surat paksa harus memuat dasar-dasar dilakukannya penagihan dengan surat paksa.
Hal tersebut dilakukan untuk mempertegas penanggung pajak yang bersangkutan telah diberi teguran, peringatan atau terhadapnya telah diberikan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus, sehingga telah layak untuk diberikan kepadanya surat paksa.
Dari sisi fungsi, surat paksa dapat digunakan untuk menagih semua jenis pajak, baik itu pajak di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Selain itu, surat paksa juga memiliki fungsi ganda, yaitu dapat digunakan untuk menagih pajak dan menagih yang bukan pajak seperti biaya-biaya penagihan.
Pada praktiknya, penagihan pajak dengan surat paksa dapat dilanjutkan dengan tindakan yang lebih keras, seperti penyitaan, penyanderaan, atau pencegahan jika penanggung pajak yang bersangkutan masih belum juga membayar utang pajaknya sampai batas waktu yang ditentukan.
Simpulan
SECARA garis besar, surat paksa memiliki sifat yang cenderung lebih keras dibandingkan dengan upaya-upaya penagihan pajak sebelumnya. Sebab, surat paksa memiliki kekuatan hukum yang setara dengan keputusan Pengadilan Pajak yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam surat paksa juga terdapat ketetapan yang mewajibkan seorang penanggung pajak untuk menunaikan kewajibannya dalam jangka waktu yang relatif pendek sebelum dilakukannya upaya paksa oleh otoritas pajak.
Meskipun demikian, dari bentuknya, tidak banyak perbedaan terkait dengan hal-hal yang harus dimuat, kecuali pada surat paksa harus dimuat dasar-dasar dilakukannya penagihan pajak dengan cara tersebut.*