Presiden ke-33 Amerika Serikat Harry S. Truman.
SEBERKAS surat diantar masuk lebih pagi. Beberapa lembar dokumen berlogo burung elang dengan teks The White House berukuran font besar di bawahnya menjadikan identitas pengirimnya cukup jelas: presiden Amerika Serikat (AS).
Suasana ruang ketua senat berbentuk persegi di samping aula utama Gedung Capitol di Washington, D.C. tak ubahnya kantor pemerintahan pada umumnya, riuh. Gumaman lirih Alben Barkley, wakil presiden ke-35 Amerika Serikat yang pada saat itu juga menjabat ketua senat, menyaru dengan suara mesin tik yang dipakai sekretarisnya.
Bibir Barkley berpantomim, komat-kamit mengurut bait demi bait surat yang dikirimkan koleganya, Harry S Truman, yang kala itu menjabat presiden ke-33 AS.
Di Amerika Serikat, wakil presiden memang merangkap jabatan sebagai ketua senat. Hanya saja, sebelum 1961, wakil presiden lebih banyak menjalankan tugas dan fungsinya di area legislatif ketimbang eksekutif. Lebih banyak di Gedung Capitol ketimbang di Gedung Putih. Seperti peran yang dijalankan oleh Barkley kala itu.
Barkley menerima dokumen tertanggal 7 Maret 1952 yang berjudul lengkap Letter to the President of the Senate Urging Action on Reorganization of the Bureau of Internal Revenue (BIR). Isinya, desakan dari Presiden Truman agar Senat AS di bawah Barkley menyetujui rencana reorganisasi BIR.
Wacana untuk mereformasi lembaga yang mengurusi penerimaan pajak itu sebetulnya sudah ditimbang matang-matang. Dua bulan sebelumnya, pada 2 Januari 1952, Truman sudah lebih dulu menyampaikan rancangan pokok mengenai perubahan di tubuh BIR.
Penjelasan Truman tertuang dalam dokumen Special Message to the Congress Transmitting Reorganization Plan 1 of 1952: Bureau of Internal Revenue. Dokumen itu tegas menyebutkan bahwa reformasi di tubuh BIR mendesak untuk dilakukan. Reformasi dinilai bisa memutus budaya korupsi yang kala itu menginfeksi lembaga BIR.
Melalui reformasi kelembagaan, Truman ingin menghapus 64 jabatan pemungut pendapatan dalam negeri di bawah BIR yang selama ini berkuasa berkat sistem patronase politik. Dengan kekuasaan politik yang kental, ke-64 pejabat itu cenderung tunduk pada siapa yang memberi mereka jabatan, alih-alih tunduk pada kekuasaan rakyat.
Dalam evaluasi oleh Kementerian Keuangan AS, penunjukan secara politik jabatan-jabatan pemungut pendapatan dalam negeri dinilai menghambat kinerja lembaga dalam mengoptimalkan penerimaan.
"Apakah urusan pemungutan pajak harus dipisahkan dari politik? Jawabannya jelas, pegawai pajak harus dipisahkan dari pengaruh politik," ujar Presiden Truman dalam surat kedua yang dikirimkan kepada Ketua Senat Barkley.
Hanya singkat, senat AS pun menyetujui Rencana Nomor 1/1952 tentang Reorganisasi Biro Pendapatan Dalam Negeri (BIR). BIR secara resmi bertransformasi menjadi Internal Revenue Service (IRS) pada 9 Juli 1953.
Perubahan itu tak sekadar mengganti nama BIR menjadi IRS. Semuanya dirombak total, dari lembaga yang sarat dengan kepentingan politik penguasa menjadi badan semiotonom yang mengurusi pemungutan pajak federal.
Truman mengganti jabatan-jabatan politik dengan pegawai negeri. IRS dipimpin oleh seorang komisaris yang diangkat oleh presiden dan atas persetujuan senat. Tidak ada lagi pemungut pendapatan dalam negeri yang dipegang oleh 64 pejabat.
Transformasi BIR menjadi IRS tak ubahnya upaya perampingan jabatan-jabatan gemuk di level atas. Seluruh fungsi operasional diurusi oleh 25 kantor distrik yang dipimpin seorang komisaris distrik. Terbentuknya IRS juga menghapus 200 petugas lapangan yang memiliki pertanggungjawaban langsung kepada presiden.
Dalam 10 tahun pertama IRS terbentuk, reformasi besar yang dijalankan pertama kali adalah perbaikan layanan. IRS mulai mengampanyekan pengetahuan soal pajak ke sekolah-sekolah dan mengajarkan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan kepada siswa.
Sejak 1953 hingga 1959, IRS gencar melakukan sosialisasi melalui iklan layanan masyarakat di televisi dan radio. Sosialisasi dilakukan sepanjang tahun, tidak terbatas pada musim pelaporan SPT Tahunan saja.
Seiring berjalannya waktu, layanan pajak oleh IRS terus ditingkatkan. Hal ini beriringan dengan makin efisiennya organisasi IRS dalam menjalankan tugasnya dalam memungut pajak federal.
Secara statistik, transformasi kelembagaan pemungutan pajak di AS terbukti cukup ampuh meningkatkan pendapatan negara secara signifikan. Medio 1940 hingga 1950 awal, total pendapatan negara yang dikumpulkan pemerintah AS berkisar di rentang US$20 miliar hingga US$39 miliar.
Setelah IRS terbentuk pada 1953, pendapatan negara AS mulai terkerek melampaui US$50 miliar per tahunnya.
Pada 1957 misalnya, pertama kalinya pendapatan negara berhasil tercatat US$74 miliar. Kemudian, mulai 1960-an, pemerintah AS berhasil meraup penerimaan lebih dari US$100 miliar.
Tantangan yang dihadapi pemerintah AS dalam mengoptimalkan pengumpulan pajak pada medio 1950-an silam barangkali masih relevan dengan apa yang dihadapi Indonesia saat ini. Indonesia masih dihadapkan pada belum optimalnya pengumpulan pajak dari publik. Hal ini tecermin pada tingkat rasio pajak (tax ratio) dari tahun ke tahun yang cenderung stagnan.
Katakanlah dalam periode satu dekade terakhir, sejak 2014 hingga saat ini, kinerja tax ratio RI tidak pernah tembus 11%. Yang terakhir, pada 2023 lalu angka rasio pajak bertengger di level 10,31%.
Nampaknya butuh terobosan yang cukup radikal untuk bisa mem-boost tax ratio secara signifikan. Salah satu gagasan untuk menjawab tantangan ini adalah pemusatan penerimaan negara ke dalam satu institusi semiotonom yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Kebijakan tentang pemusatan urusan penerimaan negara ini masuk dalam dokumen visi-misi presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Bahkan, kebijakan pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara itu masuk dalam Delapan Program Hasil Terbaik Cepat alias daftar program prioritas yang akan direalisasikan begitu mereka menjabat.
Tapi jangan salah. Jauh sebelum itu, pembentukan badan otorita sudah masuk ke dalam Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika maju ke gelanggang pilpres pada 2014 lalu. Cita-cita itu memang sudah ada lama, tapi jua terwujud.
Melalui Badan Otorita Penerimaan Negara, pemerintah akan menyatukan kantong-kantong penerimaan negara saat ini masih terpisah di banyak tempat. Kantong penerimaan yang dimaksud, antara lain Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) yang mengurusi kepabeanan dan cukai, Ditjen Pajak (DJP) yang mengurusi penerimaan pajak, dan kementerian/lembaga lainnya yang berwenang memungut penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Sebagai wujud keseriusan pemerintah, niatan untuk membentuk Badan Otorita Penerimaan Negara sudah dimasukkan dalam rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025.
Dalam dokumen tersebut, pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara menjadi upaya pemerintah dalam membenahi kelembagaan perpajakan. Harapannya, penerimaan perpajakan dapat meningkat lebih besar lagi ke depannya.
Dokumen rancangan awal RKP 2025 juga menyebutkan bahwa pemerintah menargetkan rasio pajak (tax ratio) sebesar 11,2%-12% pada 2025. Angka tersebut lebih tinggi dari target tax ratio pada 2024 sebesar 10,12%.
Jika berkaca kepada Negeri Paman Sam, pembentukan lembaga semiotonom yang mengurusi soal pajak berpotensi melesatkan angka penerimaan negara. Namun, layaknya membangun rumah, ada tahapan-tahapan yang perlu dijalankan. Atap tak bisa langsung dipasang jika dindingnya saja belum berdiri, apalagi fondasinya belum kokoh.
Secara kelembagaan, Badan Otorita Penerimaan Negara nanti tidak bisa sepenuhnya independen. Lembaga setingkat kementerian itu tetap harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan selaku bendahara negara.
Poin plusnya, Badan Otorita Penerimaan Negara tidak akan terkuras energinya untuk urusan birokrasi pemerintah. Lembaga ini bakal memiliki diskresi atas keuangan, sumber daya manusia (SDM), dan organisasinya sendiri. Dengan begitu, strategi-strategi pengumpulan penerimaan negara, termasuk pajak serta kepabeanan dan cukai, bisa disiapkan dengan lebih optimal.
Namun, catatan besarnya adalah jangan sampai pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara justru akan mengalihkan fokus pemerintah dalam merampungkan langkah reformasi yang sudah berjalan selama ini.
Misalnya, pelaksanaan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) atau coretax system administration system yang sejatinya akan berjalan 2024 ini. Belum lagi, upaya-upaya peningkatan kepatuhan sukarela melalui edukasi dan sosialisasi yang masif, serta upaya memperluas basis pemajakan.
Lompatan radikal dengan membentuk badan semi-independen boleh saja dilakukan. Tetapi jangan sampai melupakan perbaikan-perbaikan yang telah, sedang, dan akan dilakukan.
Meminjam kata-kata Truman dalam suratnya kepada senat, pembentukan lembaga semiotonom pengumpulan pajak bisa mengefektifkan dan menyederhanakan manajemen organisasi. Karenanya, layanan bisa diberikan secara lebih optimal kepada masyarakat sekaligus target penerimaan bisa digapai lebih tinggi. (sap)